. Stop Rasionalisasi dan Cocokologi, Demi Keutuhan dan Keberlajutan PDIP di Sumut

Stop Rasionalisasi dan Cocokologi, Demi Keutuhan dan Keberlajutan PDIP di Sumut

Sutrisno Pangaribuan
Oleh: Sutrisno Pangaribuan

Sebagai kader partai, kami mengpresiasi kegiatan “Partai Memanggilmu: Apel Siaga Satgas PDI Perjuangan Sumut”, Sabtu (10/8/2024). Pada kegiatan bersama dengan ujung tombak sekaligus benteng penjaga partai tersebut juga diserahkan surat tugas kepada calon gubernur (Cagub) Sumut 2024-2029. PDIP memperkenalkan Cagub kepada basis partai, kader yang memakai seragam dan atribut partai 24 jam/ hari. Mereka yang tetap setia menjaga kantor- kantor partai di saat pimpinan dan kader partai lainnya tidur (istirahat malam).

Surat tugas kita maknai sebagai bagian dari ujian terakhir dari PDIP kepada Cagub. Statusnya belum final, dan masih dapat berubah sesuai dengan dinamika politik dan kebutuhan partai. Maka PDIP tetap memegang kendali, meski memberi otoritas terbatas kepada Cagub. Urusan yang bersifat idiologi, strategi, kriteria tetap menjadi hak DPP PDIP. Urusan Cagub terbatas pada memberi daftar nama kepada PDIP untuk dipilah, dipilih dan diputuskan.

PDIP sebagai kelanjutan dari PDI yang merupakan hasil fusi (11/1/1973) dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) ,Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Maka PDIP adalah satu- satunya partai nasionalis di Indonesia yang memiliki akar dan ikatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarah panjang tersebutlah yang membuat PDIP tetap kokoh dan kuat, meski badai politik kerap menghantam.

Pasca reformasi, PDIP selalu mengusung kader sendiri dengan kriteria yang jelas, tegas dan mengakomodasi pluralitas Sumut. Era pemilihan di DPRD, PDIP mengusung Letjend (Purn.) Rizal Nurdin- Rudolf Pardede (menang). Era Pilkada langsung, mengusung Mayjend (Purn.) Tritamtomo- Benny Pasaribu (2008), Effendi Simbolon- Djumiran Abdi (2013), Djarot Saiful Hidayat- Sihar Sitorus (2018). Meski kalah di 3 Pilgub terakhir, namun PDIP tetap setia pada prinsip mengusung kader sendiri dan heterogen.

Semua Cagub patuh dan tunduk kepada PDIP, termasuk dalam menentukan Cawagub. Tidak ada Cagub yang berani memberi syarat dan kriteria kepada PDIP. Proses demokrasi merdeka tetap berjalan namun keputusan akhir tetap dalam kendali PDIP, bukan pihak lain, apalagi Cagub. Konsistensi DPP PDIP pada latar belakang sejarah, idiologi, dan kesetiaan pada nilailah yang membuat PDIP hingga saat ini diterima, dicintai dan dipilih oleh para kaum republikan di Sumut.

Jelang penyerahan rekomendasi untuk didaftarkan ke KPU menjadi momentum, titik kritis dan persimpangan jalan. Jika salah memilih Cawagub karena keinginan menang, maka bahaya bagi PDIP. Pilgub bisa menang, tetapi PDIP akan ditinggal oleh basis utamanya karena kepentingan pragmatis. Maka upaya mengubah komposisi pasangan Cagub- Cawagub sesuai selera dan pesanan berbahaya. Jika sebelumnya wajib mengakomodasi kepelbagaian, warna- warni, kini dipaksa homogen, dan sewarna. Skenario yang akan berdampak buruk bagi masa depan PDIP di Sumut.

Maka tidak perlu menggunakan hasil survey merasionalisasi kehendak Cagub dan “circle” nya. Cagub yang tergantung kepada PDIP, bukan sebaliknya. Tanpa PDIP, Cagub tersebut hanya masa lalu. PDIP lah satu- satunya partai yang bersedia mengusungnya sebagai Cagub. Sehingga bukan PDIP yang tergantung kepada Cagub tersebut di Sumut. Maka Cagub dan circle nya diminta fokus mencari sosok yang dapat menutupi banyak kekurangan dan kelemahannya. Bukan sibuk membangun “rasionalisasi” dan “cocokologi”.

Jika mengacu pada hasil Pileg 2024, maka PDIP berhasil mendapatkan 3 dari  9 kursi (33,3%) dari Sumut 9 DPRD Sumut. Maka kader dari kawasan tersebut ( Toba, Tapanuli Utara, Samosir, dan Humbang Hasundutan) harus prioritas sebagai Cagub/ Cawagub. Jika Cagub sementara sudah dipilih dari kawasan lain, maka Cawagub mutlak dari kawasan tersebut. Sebab jika kawasan ini tidak diakomodasi maka akan ada migrasi politik besar- besaran dari basis PDIP kepada lawan. Pihak lawan akan klaim lebih nasionalis di kawasan ini.

Maka DPP PDIP diminta untuk merdeka dalam memutuskan Cagub dan Cawagub Sumut. Keutuhan dan keberlanjutan PDIP jauh lebih penting daripada kepentingan politik jangka pendek Pilkada. Sumut sebagai miniatur Indonesia yang paling kompleks dan komplit harus dirawat dan dijaga seperti menjaga biji mata sendiri. Sebab PDIP lebih baik kalah di Pilgub Sumut daripada menang tetapi PDIP meninggalkan jati diri dan identitasnya.

Kita meminta semua “rasionalisasi” dan “cocokologi” yang sedang dimainkan oleh para aktor politik dihentikan. Terutama para pemain lama yang terbukti gagal di zamannya. Zaman sudah berubah, sebab sesungguhnya yang lama sudah berlalu, yang baru sudah datang. Kita sama- sama memiliki kecakapan dan keahlian bermain politik. Namun kita harus menghargai kepemimpinan kolektif DPD PDIP Sumut dibawah komando Rapidin Simbolon.

Kemenangan Pilgub Sumut penting dan harus menjadi prioritas semua kader. Namun keutuhan dan keberlanjutan partai di atas segalanya. Kepentingan pribadi, kelompok, harus tunduk dan melebur dibawah kepentingan partai. Apresiasi kepada semua kader yang berjuang demi kepentingan partai. Setia pada garis perjuangan partai, serta tidak pernah melakukan perbuatan tercela demi keuntungan diri sendiri, dan kelompoknya yang melukai hati rakyat. Satyam Eva Jayate!(Penulis Adalah Kader PDIP-Ketua PP GMKI 2008-2010)

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama