Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Penolakan terhadap Ahok di Pilkada Sumut dipelopori oleh kelompok elit Parpol, Ormas, kelompok mafia dan preman. Kelompok yang selama ini mendapat keuntungan pribadi dan kelompok atas buruknya tata kelola pemerintah daerah. Isu putra daerah pun dihembuskan, agar publik menolak Ahok.
Para elit membayangkan seperti anak kecil seperti saat Ahok menuliskan “pemahaman nenek lu” di pembahasan APBD DKI Jakarta. Pengalaman elit di DKI Jakarta tidak ingin dialami para elit di Sumut. Para ketua akan kehilangan harga diri dan pengaruh jika berhadapan dengan Ahok. APBD tidak lagi dapat dikelola seperti selama ini, sehingga peluang “bermain” sangat kecil.
Sejak Pilkada langsung, di Sumut 2008, hanya Syamsul Arifin (Gubsu 2008-2013) yang lahir di Medan (25/9/1952). Sedang Gatot Pujo Nugroho (Gubsu 2013-2018) lahir di Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah (11/6/1962). Kemudian Edy Rahmayadi (Gubsu 2018-2023), lahir di Sabang, Aceh (10/3/1961). Maka isu putra daerah tidak relevan kepada Ahok yang lahir di Manggar, Belitung (29/6/1966).
Isu putra daerah dihembuskan kembali oleh elit politik karena takut kalah bersaing dengan Ahok. Sosok Ahok dianggap mengganggu skenario politik yang telah dirancang dan disusun. Padahal Ahok sama sekali belum melakukan “aksi” atau deklarasi diri. Nama Ahok yang oleh elit partai disebut wacana seorang kader, ternyata cukup mengusik eksistensi elit.
Sebagai aspirasi arus bawah, nama Ahok sangat mengganggu para elit. Mereka kuatir jika Ahok sungguh- sungguh maju di Pilgub Sumut. Sebab pesona Ahok masih terlalu kuat dibandingkan Cagub lainnya. Ahok tidak butuh modal besar dalam Pilgub karena tidak perlu “money politics”. Ahok akan dipilih meski tanpa memberi hadiah atau janji, uang atau sembako seperti calon lainnya.
Sementara para calon lain pasti tidak akan berani maju tanpa politik uang dan sembako. Sehingga tidak pernah kita disuguhi informasi tentang ide, gagasan, dan program politik oleh para cagub. Tidak ada Cagub dengan prestasi spektakuler yang mampu mengimbangi pesona Ahok.
Tidak ada rekan juang politik, relawan, simpatisan para Cagub lain yang bergerak sendiri, dan mandiri. Semua digerakkan dan dibiayai oleh Cagubnya. Sementara pendukung Ahok telah bergerak membentuk simpul- simpul relawan yang siap setelah Ahok dipastikan oleh DPP PDIP sebagai Cagub. Pilgub yang tadinya biasa- biasa saja, tiba- tiba bergairah pasca nama Ahok dimunculkan. Sehingga harus ditolak dengan isu putra daerah. (Penulis Adalah Fungsionaris PDIP)
Posting Komentar