Pematangsiantar, S24-Tersangkut kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) oknum mantan Praeses Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Jawa-Bali-Kalimantan, (Pendeta) berinisial JRR divonis 3 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar yang dipimpin Renni Pitua Ambarita, Selasa (16/1/2024).
Mendengar putusan hakim, istri terdakwa menjerit histeris dan melontarkan kalimat bahwa seluruh putusan hakim tidak adil. Bahkan istri terdakwa yang ada di barisan kursi pengunjung mendekati meja hakim dan berupaya melempar kursi besi ke arah tiga majelis hakim yang memimpin persidangan.
Dalam perkara ini, Hakim Ketua PN Pematangsiantar, Renni Pitua Ambarita mengatakan bahwa limitatif pembuktian pidana sebagaimana yang diamanatkan dalam perundang-undangan telah terbukti.
"Majelis hakim mencari kebenaran materil berdasarkan fakta-fakta persidangan dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," kata Hakim Renni.
Disebutkan dalam persidangan, berdasarkan pemeriksaan terhadap korban, terdakwa, saksi, dan saksi ahli serta barang bukti, majelis berpendapat bahwa unsur pidana dalam kasus ini telah memenuhi unsur Primair Pasal 6 huruf ( c ) UU RI No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dalam dakwaan Primair Penuntut Umum.
"Hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa membuat trauma korban, terdakwa seorang pendeta dan tidak mengakui perbuatannya. Adapun hal yang meringankan bahwa terdakwa telah berbuat sopan dan tidak pernah dihukum," kata Hakim.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 3 tahun dan menetapkan pidana denda sebesar Rp 200 juta yang apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana 3 bulan kurungan," kata Hakim.
Seperti diberitakan, dalam kasus ini terdakwa dengan modus kangen memanfaatkan kekaguman korban untuk melakukan pelecehan seksual di salah satu penginapan yang ada di Kota Pematangsiantar pada 12 Oktober 2022.
Terdakwa JRP berupaya melakukan pencabulan terhadap korban yang saat itu berusia 18 tahun. Korban yang tak terima kemudian melaporkan hal ini kepada istri terdakwa. Kasus ini pun sempat dibawa ke Sinode GKPS untuk dilakukan mediasi tertutup.
Sayangnya, upaya mediasi untuk mencari jalan damai yang adil itupun gagal. Sayangnya, upaya mediasi untuk mencari jalan damai yang adil itupun gagal. Malah istri terdakwa menyebut korban melakukan pencemaran nama baik, sehingga kasus ini pun kian memanas.
Dituntut 6 Tahun
Pada sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin langsung Kasi Pidana Umum Kejari Pematangsiantar, Edy S Tarigan menuntut terdakwa dengan pidana penjara 6 tahun.
Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, Rendra Y Pardede menyampaikan bahwa JPU menyatakan terdakwa JRP terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
"Jaksa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa JRP dengan pidana penjara selama 6 tahun, dikurangi selama terdakwa dalam masa penahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Kemudian terdakwa dikenakan denda sebesar Rp 200 juta, subsidair 6 (enam) bulan kurungan," kata Rendra.
Sebelumnya diberitakan, oknum pendeta inisial JRP ditahan Satuan Reskrim Polres Pematangsiantar terkait dugaan kasus pencabulan terhadap oknum jemaat.
Kasat Reskrim, AKP Banuara Manurung, membenarkan adanya dugaan kasus tersebut, dan telah memproses hukum oknum yang bersangkutan. Dikatakan, pihaknya tidak dapat menerangkan secara detail, karena itu adalah kasus pencabulan. Namun ditegaskan, korban dari JRP bukan anak di bawah umur.
"Sedang kita proses, korbannya enggak di bawah umur, sudah dewasa kok,” ujar Banuara saat membenarkan informasi yang diperoleh wartawan, Selasa (3/10/2023) lalu. Banuara menerangkan kembali, kasus ini akan diproses sesuai prosedur.
Meskipun dikatakannya, kasus pelecehan seksual tidak dapat diumbar ke masyarakat umum. "Gak boleh kita banyak keterangan karena ini pencabulan. Yang penting kita proses hukum,” sebutnya. Dirinya juga menegaskan, peristiwa pelecehan ini tidak dilakukan oknum pendeta di dalam rumah ibadah.
Pimpinan Sinode GKPS tidak bersedia memberikan pendapat soal kasus yang menimpa seorang oknum (Pendeta) GKPS, yang saat kasus ini mencuat oknum (pendeta) itu menjabat sebagai Praeses GKPS Distrik VII.
Bahkan dari informasi beredar, bahwa kasus ini sudah lama terjadi saat oknum (Pendeta) JRR melayani di GKPS Raya Kota beberapa tahun lalu. Namun kasus ini mencuat setelah (Pendeta) JRR menjabat sebagai Praeses GKPS Distrik VII. (Pendeta) JRR juga pernah menjabat di Provinsi Jambi sebagai Pendeta GKPS Resort Jambi selama 4 tahun lebih.
Bahkan (Pendeta) JRR ini juga pernah muncul sebagai salah satu kandidat kuat saat Pemilihan Pimpinan Sinode (Sekretaris Jenderal-Sekjen) GKPS pada Sinode Bolon GKPS Tahun 2020 lalu.
Jemaat GKPS Jambi juga membawakan dalam Doa agar (Pendeta) JRR dan keluarga diberikan ketegaran dan kekuatan dalam menghadapi persoalan hukum ini.
Kronologi Kasus
Kronologis mencuatnya kasus yang disidangkan Majelis Hakim PN Pematangsiantar yang menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta kepada (Pendeta) JRP karena terbukti melecehkan wanita inisial NAPS, yang tidak lain merupakan jemaatnya sendiri.
Persidangan berlangsung Selasa (16/1/2024) di PN Siantar dipimpin Hakim Ketua Renni Pitua Ambarita serta dua hakim anggota, Nasfi Firdaus dan Katharina Melati Siagian.
JRP sebelumnya dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia didakwa melanggar Pasal 6 huruf C dan Pasal 6 huruf a UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.
JRP merupakan pendeta di salah satu lembaga gereja, sebelum ia dipindahtugaskan ke Depok dengan jabatan Praeses, (Pendeta) JRP bertugas melayani di Pematangraya, Simalungun, gereja tempat korban beribadah (GKPS Raya Kota).
Berdasarkan dakwaan JPU, pada Oktober 2021, korban NAPS (disebut-sebut Br Saragih) dan terdakwa (Pendeta) JRR bertemu di seputaran Jalan Cipto, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematangsiantar. Ketika itu, terdakwa pulang ke Kota Pematangsiantar untuk menghadiri rapat di Kantor Pusat GKPS di Pematangsiantar.
Setelah itu keduanya bertukaran nomor ponsel. Hingga akhirnya antara terdakwa dan korban membuat janji bertemu di Cafe Hordja, Jalan Wandelvat, Kecamatan Siantar Barat.
Korban NAPS saat itu berencana bertukar pikiran dan curhat terkait kehidupannya dengan terdakwa. Namun niat baik itu justru dimanfaatkan terdakwa untuk melakukan pelecehan. Korban NAPS menemui terdakwa di Kafe Hordja. Di tempat itu juga diketahui terdapat penginapan yang disewa terdakwa selama berada di Kota Pematangsiantar.
Korban NAPS yang diajak masuk ke dalam kamar itu sontak terkejut. Rencana berdiskusi di tempat makan malah diajak ke ruangan terdakwa menginap. Di saat itu jugalah, kehidupan korban terasa hancur karena dilecehkan orang yang sebelumnya dihormatinya.
Setelah terjadi pelecehan itu, korban NAPS mengalami depresi dan sempat berniat bunuh diri. Korban NAPS kerap membenturkan tubuhnya ke tembok kamar. Rupanya sikap aneh NAPS itu dirasakan kedua orangtuanya. Ayah korban kemudian memanggilnya dan meminta untuk bercerita apa yang telah dialami putrinya itu.
Korban NAPS kemudian menceritakan pelecehan seksual yang telah dialaminya. Sontak orangtuanya terkejut dan melaporkan kejadian itu ke Pimpinan tertinggi lembaga gereja GKPS tempat terdakwa mengabdi.
Suatu hari, Pimpinan Tinggi GKPS memanggil kedua belah pihak untuk merundingkan kejadian yang dialami korban NAPS. Ketika itu tidak ada jalan keluar yang disepakati hingga berakhir dengan saling klaim kebenaran masing-masing.
Terdakwa (Pendeta) JRR kemudian merasa difitnah sehingga membuat laporan pengaduan ke pihak kepolisian karena merasa nama baiknya dicemarkan yang membuatnya merasa dipermalukan.
Mendapat respon tidak baik dari terdakwa JRR, keluarga korban NAPS kemudian membuat laporan ke Polres Pematangsiantar. Mereka mengadukan pelecehan seksual yang terjadi terhadap NAPS di Cafe Hordja.
Informasi beredar senyap, salah satu bukti otentik dalam kasus ini ada rekaman CCTV Cafe Hordja berdurasi 17 menit antara JRR dan NAPS terlihat masuk kamar. Rekaman itu tak terbantahkan karena keberadaan berdua disalah satu kabar jadi pertayaan, terjadi asusila.
Pihak Kepolisian Polres Pematangsiantar kemudian memproses laporan korban keluarga NAPS. (Pendeta) JRP ditetapkan sebagai tersangka, sementara laporan pencemaran nama baik yang dilaporkan tersangka dihentikan penyidik Polres Pematangsiantar. (S24-Berbagaisumber/TIM)
Posting Komentar