|
iParatah-ratahkon, Memaknai dan Kemudian Tetap Mencintai
Oleh: St.Joharmen Damanik
PENDAHULUAN
Tanpa terasa, logo GKPS bergambar “Salib dan Demban” telah digunakan sebagai tanda-gambar resmi GKPS tiba di tiga dasawarsa ( 30 tahun ), sejak diciptakan oleh St. Holman Purba dari GKPS Cikoko, Jakarta, Mei 1993.
Diterima oleh Pimpinan Pusat, 23 Juli 1993; disetujui oleh Majelis Gereja, Oktober 1993 dan disyahkan oleh Synode Bolon tahun 1994. Logo gereja yang kulturatif itu menurut penciptanya lahir dari kecintaan dan pemahaman akan budaya Simalungun.
Banyak jemaat tidak terlalu memperhatikan dan merenungkan makna yang terkandung dari Logo GKPS ini ( Salib dan demban ). Jika kita tanya komentar dan pendapat jemaat kebanyakan memberi komentar ” bagus ”, ”cantik”, ” keren ”, mungkin ada juga beberapa jemaat yang pernah merefleksikan dan memaknai tetapi tidak banyak, hal itu mungkin terjadi dikarenakan kurangnya sosialisasi tentang sejarah memaknai ” Logo GKPS ”.
Sehingga Penulis bersama Pencipta Logo GKPS ( St.Holman Purba ) mencoba untuk kembali merefresh ingatan kita seperti apa dan bagaimana Logo GKPS ini terlahir sehingga kecintaan kita sebagai pengikut Kristus yang berbudaya tetap terjaga.
St Holman Purba. |
SEJARAH LOGO GKPS
Pada masa Pimpinan Pusat : Alm.Pdt. A. Munthe (Ephorus) dan Pdt. H.M. Girsang (Sekretaris Jenderal), GKPS telah merencanakan mempunyai tanda-gambar atau logo karena pada tahun delapan puluhan sudah banyak Gereja-Gereja Anggota PGI mempunyai logo.
Lalu diadakanlah sayembara logo se GKPS. St Holman Purba mendengar bahwa gambar-gambar hasil sayembara itu dinilai oleh Pimpinan Pusat tidak satu pun yang memadai untuk dipakai sebagai logo GKPS karena katanya terlalu “marjanggar-janggar”, maksudnya complicated.
Dengan surat nomor 461/23-93 tertanggal 14 April 1993 Pimpinan Pusat; Ephorus Alm. Pdt. Jas Damanik; Sekjen Alm. Pdt. A. Munthe meminta kepada St.Holman Purba yang isi suratnya kira-kira demikian : Marhitei surat on roh do hanami mangindo gogoh ampa pingkiranmu laho mangurupi hanami pasal logo GKPS. Tangkas do ibotoh hanami na ibere Tuhan do talenta sisonai ai bamu, anjaha boi do piga-piga contoh/model bahen ham na sekaligus holi ipataridahkon sanggah Pesta Jubileum 90 tahun GKPS i Medan. Humbani logo na masuk hubannami ai tontuhonon ma sada gabe logo GKPS na permanen”.
Bapak St Holman Purba yang memiliki ciri Khas mudah senyum ini merespons permintaan tersebut dengan kesungguhan hati dan percaya bahwa talenta yang diberikan Tuhan tentu disertai dengan hikmat dari Tuhan juga.
Ternyata St.Holman Purba memang sudah sering membuat logo/device untuk beberapa event GKPS antara lain Jubileum 75 tahun, 85 tahun, Pesta Perak 25 tahun GKPS Cikoko, Panitia Pengembangan Kantor Pusat GKPS dan dikemudian hari juga logo Jubileum 100 Tahun GKPS.
Kemudian St.Holman Purba mencari logo-logo semua gereja-gereja anggota PGI yang sudah ada dan mempelajarinya dengan seksama. St.Holman Purba mendapatkannya dari kantor PGI di Jakarta.
Gereja, secara universal jelas dilambangkan dengan salib. Bagaimanapun gambar salib perlu ada. Tapi suatu “icon” yang dengan kuat tetapi sederhana yang bisa merepresentasikan Simalungun, apa?
Setelah berminggu-minggu mencorat-coret puluhan bahkan hampir ratus lembar kertas dengan berbagai sketsa; benda-benda pusaka, rumah adat, gorga, pisau, suan-suanan, kostum/hiou, alam, peta dan lain sebagainya, pendek cerita, pilihan mengerucut kepada dua objek yaitu : hati dan demban.
DEMBAN? Menurut pengakuan pencipta logo ini bahwa beliau sendiri terperanjat! Bukannya nanti saya akan dituduh memasukkan unsur-unsur mistis, hadatuon, hasipelebeguon ke dalam gereja, lalu mungkin dijadikan anggota siasat? ( pengakuan yang tulus dan jujur ), tetapi menurut beliau tangannya terus terdorong mencorat-coret puluhan lembar kertas lagi seputar dua objek tersebut “hati berhiaskan daun sirih”. Plus Salib tentu saja.
Logo GKPS Karta St Holman Purba dari GKPS Cikoko Jakarta, Mei 1993. |
SAAT MEMPRESENTASIKAN
Pada pertengahan tahun 1993 Ephorus GKPS Alm Pdt.Jas Damanik akan mengadakan perjalanan ke Jerman dan kebetulan akan mampir di Jakarta. St.Holman Purba bergegas menuangkan ide hati dan demban itu dalam beberapa versi design/grafis.
Butuh berhari-hari lagi untuk menuliskan alasan-alasan (rationals) filosofis untuk mendukungnya. Tanggal 17 Mei 1993, St.Holman Purba dan Alm.St. John Djahiram Sinaga dari GKPS Cempaka Putih menemui Alm.Pdt. Jas Damanik di Wisma PGI Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Setelah membicarakan persiapan Jubileum 90 tahun; St.Holman Purba mempresentasikan konsep logo tersebut kepada Alm Pdt.Jas Damanik dan Alm.St.JD Sinaga, Dengan rasa waswas sambil mengamati bagaimana respons, khususnya Ephorus; St.Holman Purba mengutarakan pertimbangan dan alasan-alasan pengusulan demban itu, demikian:
Banyak suku bangsa menggunakan sirih dalam perangkat adat-istiadat, tetapi terlebih lagi bagi orang Simalungun. Sebagai perbandingan, dalam adat Toba, penggunaan demban terbatas pada pinggan panungkunan.
Tapi bagi Simalungun sebagai perangkat paradaton demba sangat sentral dan vital. Mulai dari demban tangan-tangan, demban panisei, buha sahap, panungkunan, partadingan, gunringan, parpaikkat, pamuhunan, tugah-tugah, ontangan, gattih tutur, minta maaf pakon buei nari ope; runtas horbangan, ruttas dingding, parhombaran dan lain sebagainya. Masih dikategorikan lagi; sebagai demban habang, demban marbatu. Jumlah lembarnya pun berbeda dengan makna yang berbeda juga.
Demban/Sirih banyak sekali manfaatnya: untuk obat, baik tradisonil maupun industri farmasi dalam berbagai jenis obat.
Sebagai obat, sattasak demban bagi orang Simalungun bahkan ampuh untuk mengobati “borit ni uhur”. Dan ini sungguh, sangat khas Simalungun.
Tepat pada momen ini, Alm.Pdt. Jas Damanik - seakan tidak mau kalah tentang pengetahuan manfaat dan makna demban bagi orang Simalungun - nyeletuk, katanya: “Demban pe tanda marsombah do ai, patuduhkon rasa hormat. Jadi teologis do”.
Wow! St.Holman Purba merasa lega dan berkata dalam hati: Idea is sold! Mission accomplished! Dan kami bertiga menambahkan point itu pada kertas masing-masing lalu secara terbuka membahasnya. Ephorus menambahkan; “sapari marsombah hubani simagod, sonari hubani Naibata!”
St.Holman Purba memang tidak menyinggung peran demban dalam ”goluh hasaparion” itu. St.Holman Purba berfikir, biarlah itu menjadi alasan penolakan yang tentu akan mudah saya terima sehingga tidak akan membuat rasa kecewa atau sakit hati jika toh ide demban – yang sudah sonson bani atei-atei, gompang bani pusu-pusu selama dua bulan ini ditolak mentah-mentah. Tetapi seperti disebutkan di atas, ceritanya lain dan happy ending.
Setelah presentasi itu segera St.Holman Purba mematangkan design logo, rationals serta maknanya dan mengirimkannya ke Pimpinan Pusat untuk dibicarakan di Rapat Majelis Gereja.
INKULTURASI BUDAYA & GEREJA TERGAMBAR DALAM “SALIB BERHIASKAN SIRIH”,
Titik berat menciptakan logo bukan pada pembuatan gambar grafisnya melainkan pada konsepsi atau ideation serta makna simboliknya. Setelah mengadaptasikan dengan masukan yang sangat berharga dari Pimpinan Pusat dan Majelis Gereja seputar tata-letak, design logo itu saya rampungkan.
Demikianlah logo GKPS: ”Salib berhiaskan Sirih” tercipta (bukan salib berdaun sirih, seperti yang pernah diplesetkan orang). Elemen “hati” tidak dimasukkan karena toh sangat universal.
Tetapi gambar “hati berhiaskan sirih” itu kemudian St.Holman Purba pergunakan sebagai logo/device untuk publikasi Jubileum 90 tahun di Distrik IV, Jakarta, dengan maksud untuk melihat bagaimana penerimaan jemaat GKPS atas pencantuman demban itu sebagai unsur gambar dalam logo dari gereja. Ternyata positip!
GKPS dalam memasuki Jubileum 120 tahun telah semakin menerima dan menerapkan “inkulturasi” dalam kehidupan berjemaat seperti nyata dalam penerimaan gonrang menjadi perangkat musik di gereja, gotong, bulang, hiou Simalungun dipakai; nitak, nabinatur, nanidarohkon dihidangkan di gereja.
Gereja Katolik telah memakai gorga/ornamen Simalungun dalam gereja. Di Indonesia, nama jabatan pastor pun telah lama diganti menjadi Romo, gelar bangsawan Jawa. Sebutan “naibata” ipakei bani simagod do sapari. Dob das Ambilan na Madear, bani Bibel hata Simalungun tanpa ragu kita tuliskan “Naibata” terjemahan ni Allah, Tuhan, yang dulu tidak kita kenal itu.
Baca kisah perjalanan Rasul Paulus di Atena (Kis 17: 16-34) dan kata-kata Paulus di Aeropagus ayat 23b “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu”. Demikianlah hendaknya budaya dan adat-istiadat kita pahami dengan terang Firman Tuhan.
Yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, robah dan ubahkan seperti kita mengubah perilaku dan karakter kita menjadi semakin seperti Kristus.
GKPS hendaknya cerdas dan berhikmat memahami budaya, jangan alergi, tetapi juga jangan terjadi “pendiaman” atau “pembiaran” jika ada unsur-unsur tradisi, adat-istiadat, aksara, budaya bahkan pantun, uppasa, syair dsb. dipakai oleh Iblis untuk pagolapkon dan menjauhkan kita dari pengenalan akan Tuhan, melainkan Injil Kristus “menerangi” kehidupan jemaat untuk lebih “mengenal” Allah dan Kasih Karunia-Nya yang dahulu tidak kita kenal itu.
REFLEKSI
Demban Pansing : Bani parsahapan adat, hata mangondoskon demban panungkunan intini sonon : on ma demban nami, demban nilakkahan ni sorlup, sinuruk ni gajah, aima demban panungkunan. Jalo nasiam ma (artini demban na ipilih sijengesanni sipadason ibagas bosrsih ni uhur), hal ini menginspirasi Pencipta Logo (St.Holman Purba ) membuat lukisan modifikasi dari Stock foto : ”manurduk demban kepada Yesus” .
Dalam bukunya : TEOLOGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN, BPK GUNUNG MULIA,2018, hal 156-157, Martin Lukito Sinaga menulis : ”tentu semua kita sudah dengar ( ini dari cerita Pdt.J Wismar Saragih ditahun 1950 an – di LAI Jakarta, bahwa kita : ”pansing” (kudus) yang diterakan pada ”Tonduy” ( Roh kini menjadi ”Tonduy Napansing” diambil dari nama sejenis sirih khas Simalungun (yang biasa dipakai karena kemanjurannya menyembuhkan pada masa itu ).
Jelas ada perjumpaan yang ramah dan kreatif antara adat dan injil disitu, Cap ( Logo ) GKPS.yang mempertemukan salib dan sirih itu sungguh suatu temuan yang jitu dalam hal Injil dan Budaya ini .
Dalam meneguhkan kemandirian berteologi GKPS hendaklah jemaat gereja di bimbing lebih mengaktualisasikan budaya yang sudah diterangi injil , sambil terus memurnikannya dari sinkretisme; menjadi keunggulan etnis dalam kehidupan gerejani dan rohaninya ditengah-tengah masyarakat dan bangsa kedepan. Jadilah Simalungun yang menggereja. (S24-Penulis Jemaat GKPS Graha Raya Resort Tangerang)
(Dari berbagai sumber/TEOLOGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN, BPK GUNUNG MULIA,2018, Martin Lukito Sinaga)
Posting Komentar