. DPR Tidak Ada Niat Mengagalkan Pengesahan RUU Kekerasan Seksual

DPR Tidak Ada Niat Mengagalkan Pengesahan RUU Kekerasan Seksual

Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka, SSos, MSi. (Foto:Matra/Ist).

(Matra, Jambi) – DPR RI masih terus berjuang melakukan percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) guna meningkatkan penegakan hukum dalam kasus – kasus tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. RUU TPKS akan disidangkan di awal masa sidang berikutnya agar tidak kehilangan waktu. 

RUU kekerasa seksual tersebut akan tetap dibahas di paripurna inisiatif DPR. Soal jadwal penegsahan RUU tersebut hanya menyangkut prosedur normatif, bukan menyangkut kurangnya komitmen DPR tentang kekerasan seksual terhadap perempuan. DPR juga tidak ada niat menggagalkan RRU TPKS.

Hal tersebut diungkapkan Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka, SSos, MSi pada Seminar Online (Webinar) dalam rangka memperingati 14 tahun Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Jakarta,  Sabtu (18/12/2021). Webinar tersebut juga digelar menyikapi gagalnya RUU TPKS masuk rapat paripurna DPR  RI yang harusnya dilakukan Rabu (15/12/2021). 

Webinar tersebut juga menampilkan pembicara/penanggap,  Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Desy Ratnasari, Anggota Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Komisaris Polisi (Kompol) Ema Rahmawati, SIK dan Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar.

Menurut Diah Pitaloka, RUU TPKS harus dikawal bersama karena di dalamnya menjawab hambatan-hambatan proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. RUU TPKS juga mengatur perluasan mengenai alat bukti dan saksi sehingga lebih berkeadilan kepada korban. 

Sementara anggota DPR RI dari Fraksi PAN mengatakan, Fraksi PAN DPR RI mendukung sepenuhnya percepatan pengesahan RUU TPKS demi penegakan hukum dan keadilan bagi para korban tinak kekerasa seksual terhadap perempuan yang masih terus meningkat. 

“Sikap pribadi saya tentunya akan mempengaruhi pimpinan fraksi dan membuat mereka juga berpikir tentang urgensinya UU ini untuk disahkan sehingga dapat melindungi korban,”katanya. 

Sedangkan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, proses hukum tindak kekerasan seksual terhadap perempuan perlu terus mendapatkan pengawalan jurnalis atau media demi mencegah keberpihakan penegak hukum terhadap pelaku. Seandainya pun RUU TPKS disahkan, tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan belum tentu langsung turun. 

Bahkan jika RUU TPKS disahkan, lanjutnya, kekerasan seksual malah akan meningkat karena akan semakin banyak korban kekerasan seksual melapor. Mereka melapor karena yakin sudah ada hukum yang berkeadilan. Untuk itu, diperlukan kesiapan infrastruktur pelayanan kasus-kasus kekerasan seksual untuk mendukung keberadaan UU TPKS ke depan. Kondisi tersebut harus diantisipasi semua pihak, termasuk penegak hukum.  

“Kita harus antisipasi infrastruktur pelayanannya, karena saya yakin akan semakin banyak korban yang melapor. Makanya infrastrukturnya harus disiapkan, karena status darurat kekerasan seksual itu bukan hanya soal laporan yang naik, tapi kemampuan daya dukung menangani sangat terbatas, hampir tidak bisa menampung dan menyikapi kasus yang ada, termasuk mekanisme pencegahan dan pengawasannya ini juga harus disiapkan,”paparnya. 
Webinar dalam rangka memperingati 14 tahun Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Jakarta,  Sabtu (18/12/2021). (Foto : Matra/Ist)

Sementara itu, Anggota Tipidum Bareskrim Polri, Kompol Ema Rahmawati, SIK dan Deputi Bidang Perlindungan Anak  Kemen PPPA, Nahar pada kesempatan tersebut menyatakan komitmen lembaga masing-masing untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hal itu penting agar kasus-kasus kekerasan di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan diharapkan tidak terulang lagi.

Terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, Ketua Forum Jurnalisme Perempuan Indonesia,  Uni Lubis mengatakan, kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia semakin memprihatinkan karena kasusnya cenderung terus meningkat. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat satu tahun terakhir. 

“Selama Januari – September 2021, kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia mencapai 4.500 kasus. Sedangkan kasus kekerasan terhadap berdasarkan catatan Kementerian PPPA hingga September 2021 mencapai 9.428 kasus. Proses hukum terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut selama ini  sering tidak memberikan keadilan kepada korban,”katanya. (Matra/AdeSM).

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama