(Matra, Jambi) – Komunitas adat terpencil (KAT) Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) asal Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi mendapat kejutan ketika mendapat kunjungan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Menristekdikti) Nadiem Anwar Makarim.
Kejutan tersebut, yakni ketika Nadiem Makarim memilih tidur semalam bersama puluhan warga Orang Rimba di kantor lapangan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Selasa (21/9/2021) malam.
Kendati disertai rasa kikuk atau sungkan, pertemuan dengan Nadiem Makarim dimanfaatkan warga Orang Rimba menyampaikan unek-unek atau aspirasi. Ketika berbincang-bincang dengan Nadiem Makarim, dua orang Tumenggung (Kepala Suku) Orang Rimba Sarolangun menyampaikan persoalan keterbelakangan pendidikan anak-anak Orang Rimba yang hingga kini belum dapat diatasi.
Tumenggung Basemen (60), tetua adat Orang Rimba Sarolangun pada kesempatan tersebut mengatakan, pendidikan formal menjadi kebutuhan penting bagi anak-anak Orang Rimba untuk memudahkan mereka beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka.
Namun anak-anak Orang Rimba sulit mengecap pendidikan formal yang selama ini dilakukan di sekolah – sekolah di desa. Masalahnya masih banyak warga Orang Rimba yang hidup berpindah-pindah (mengembara) di kawasan hutan. Hal tersebut menyulitkan anak-anak Orang Rimba bisa sekolah menetap.
“Kami ingin anak-anak kami sekolah agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Tetapi karena anak-anak kami harus sekolah di sekolah umum di desa, mereka sulit mengikutinya. Masalahnya mereka masih sering ikut orang tua berpindah-pindah di hutan, sehingga sulit mengikuti proses belajar secara menetap di sekolah desa,”katanya.
Tumenggung Basemen mengharapkan, supaya anak-anak mereka bisa mengikutipendidikan formal secara rutin, pemerintah mengirimkan guru untuk mengajar anak-anak mereka ke lokasi permukiman mereka di kawasan hutan. Pola belajar seperti itu lebih efektif untuk mempercepat pembelajaran di tengah anak-anak Orang Rimba seperti yang dilakukan KKI Warsi selama ini.
“Ppendidikan yang diberikan kepada Orang Rimba hendaknya tetap sesuai dengan kehidupan Orang Rimba. Anak – anak kami yang tinggal di dalam hutan mengharapkan guru datang ke lokasi mereka. Kalau sekolah di luar rimba (hutan), susah anak kami bapak. Kami kalau bolih minta sekolahnya di dalam rimba tempat kami,”katanya.
Harapan serupa juga disampaikan Temenggung Grip. Menurut kepala suku Orang Rimba tersebut, kehidupan aslinya sangat bergantung dengan hutan. Hanya saja hutan semakin sempit, populasi Orang Rimba makin bertambah. Kondisi tersebut menyulitkan mereka mempertahankan kehidupan.
Kerusakan hutan dan konversi hutan menjadi kebun sawit menyulitkan Orang Rimba mencari penghidupan. Kalau penghidupan sulit maka pendidikan juga akan sulit dilakukan.
Sementara belakangan ini, interaksi Orang Rimba dengan warga masyarakat semakin sering (intensif) karena Orang Rimba harus memenuhi kebutuhan mereka dengan mendatangi pasar di sekitar desa. Interaksi yang semakin dekat dengan orang luar ini mengharuskan Orang Rimba harus pandai beradaptasi. Salah satu cara mempercepat adaptasi tersebut, yakni bersekolah dengan formal.
“Kami harap, anak-anak kami bersekolah supaya anak anak kami tidak seperti kami orang tuanya. Kami harap anak-anak nantinya dapat pekerjaan yang bagus, bisa berbaur dengan orang luar (warga masyarakat desa dan kota),”katanya.
Lapar, Nggak Belajar
Sementara itu, salah satu solusi yang dilakukan KKI Warsi meningkatkan Pendidikan formal Orang Rimba, yakin membina kader pendidik. Orang Rimba yang sudah mengecap pendidikan dan mahir calistung (baca, tulis hitung) menjadi “guru” bagi anak-anak Orang Rimba di hutan.
Seorang kader Pendidikan Orang Rimba tersebut, Mulung. Pada pertemuan dengan Nadiem Makarim, Mulung mengungkapkan pengalamannya mengajar anak-anak Orang Rimba di hutan. Menurut Mulung, anak-anak Orang Rimba memang semangat mengikuti proses belajar di hutan. Namun ada kelemahan anak-anak Orang Rimba yang belajar di hutan.
“Pengalaman saya mengajar anak-anak Orang Rimba di komunitas Orang Rimba Punti Kayu Sarolangun memprihatinkan juga. Jika anak-anak Orang Rimba lapar, mereka enggan belajar. Kondisi ini membuat pembelajaran anak-anak Orang Rimba sulit. Orang Rimba sulit mendapatkan makanan karena kehilangan sumber makanan di tengah hutan yang kian rusak,”katanya.
Dikatakan, hingga kini sebagian orang tua Orang Rimba masih berburu dan meramu mencari makanan. Sebagian lagi terpaksa mencari brondolan sawit (buah sawit yang tercecer) untuk dijual. Pola kehidupan seperti ini membuat pendapatan Orang Rimba tidak menentu. Terkadang mereka bisa dapat hasil terkadang juga tidak. Kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ini sangat mengganggu pembelajaran anak-anak Orang Rimba.
Kesulitan mendapatkan sumber penghidupan di hutan yang mengganggu pembelajaran anak-anak Orang Rimba tersebut juga diungkapkan tokoh Orang Rimba lainnya, Depati Nyalo. Menurut Depati Nyalo, Orang Rimba yang awalnya sangat bergantung dengan hutan mengalami perubahan drastis ketika hutan terus menyusut. Kerusakan hutan membuat Orang Rimba kesulitan mempertahankan kehidupan mereka di kawasan hutan.
“Kami harus berpindah-pindah karena setelah sumber penghidupan di tempat itu habis kami harus mencari tempat penghidupan yang baru supaya bisa bertahan hidup. Anak anak juga harus ikut kalua kami pindah permukiman di hutan. Hal tersebut membuat mereka tidak bisa mengikuti sekolah formal,”katanya.Kearifan Lokal
Keluhan – keluhan Orang Rimba tersebut mendapatkan respon dari Nadiem Makarim. Nadiem Makarim mengatakan, proses pembelajaran bukan hanya satu bentuk, tapi memiliki banyak bentuk. Tiap daerah memiliki karakteristik sendiri dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kurikulum dan pendidikan harus cocok dengan apa yang dibutuhkan masyarakat berdasarkan kearifan lokal masyarakatnya.
“Ini suatu hal yang sangat menyenangkan buat saya dalam belajar. Saya juga sadar perubahan hutan itu sangat berdampak kepada masyarakat yang bergantung kepada hutan. Kondisi ini harus dicermati pemerintah,”katanya.
Menurut Nadiem Makarim, Dia sudah menyerap aspirasi Orang Rimba dalam pertemuan tersebut. Nadiem Makarim sudah mengetahui apa kebutuhan Orang Rimba untuk pendidikan di masa depan.
“Dari semua yang saya dengar , ujungnya adalah mata pencaharian. Itu kuncinya. Mata pencaharian adalah kunci permasalahan yang harus ditangani secara lintas sektor, bukan hanya Pendidikan. Kalau sumber mata pencaharian Orang Rimba menetap dan mereka bisa hidup menetap, tentu anak-anak mereka juga bisa sekolah menetap di sekolah desa,”katanya.
Dalam kunjungan ke komunitas Orang Rimba di Sarolangun tersebut, Nadiem Makarim juga melihat langsung kegiatan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Bungo Kembang yang didukung Kemendikbudristek. Pada kesempatan tersebut Fasilitator Pendidikan Warsi, Yohana Berliana Marpaung, yang juga pengurus PKBM menyerahkan kaos hasil karya anak rimba di kelas pelajaran keterampilan.
Kegiatan kelas keterampilan Orang Rimba tersebut antara lain mencetak kaos untuk dijadikan souvenir (cendera mata). Hasil usaha keterampilan tersebut bisa menambah pemasukan anak-anak rimba yang beranjak remaja. Mereka juga memproduksi aneka kerajinan berbasis rimba, seperti kalung sebelik sumpah, anyaman rotan dan kotak tisu dari kulit kayu ipuh.
Kaos yang diserahkan kepada Menteri Nadiem Makarim bertulisan "Kamia ndok tokang baco tuliy". Ketika Nadiem Makarim menyanyakan arti tulisan dalam kaos tersebut, Yohana Marpaung mengatakan, “Kami ingin bisa membaca dan menulis”.
“Inilah harapan anak rimba untuk masa depannya. Kaos ini merupakan hasil karya anak rimba yang sudah kehilangan rimbanya dan tinggal di bawah perkebunan sawit. Walaupun kehidupan mereka sulit, mereka tetap semangat belajar agar bisa membaca, menulis dan berhitung,”kata Yohana.
Kagum
Nadiem Makarim mengaku kagum dan bangga terhadap semangat belajar anak-anak Orang Rimba. Anak-anak Orang Rimba juga bermental kuat dan pemberani. Mereka sanggup menghadapi berbagai tantangan Bersama kelompoknya mengarungi kehidupan berat di hutan.
"Mereka (anak-anak SAD) sangat baik. Ketika saya menggunakan ruang belajar mereka untuk tempat menginap, mereka senang. Ketika saya mendatangi anak-anak Orang Rimba usia 8 – 11 tahun ke kamar mereka dan berbincang-bincang, mereka antusias,”katanya.
Dikatakan, anak-anak Orang Rimba menceritakan banyak pengalaman hidup mereka. Baik pengalaman berburu, pengalaman melihat orang tuanya mencari ikan di laut, dan juga pengalaman mereka pada saat belajar.
Nadiem Makarim pun kagum ketika mendapat informasi sudah ada tiga orang anak Orang Rimba di Sarolangun yang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Jambi. Presatsi tersebut dapat menginspirasi anak-anak Orang Rimba lainnya dan anak-anak Indonesia, khususnya di pedesaan tetap semangat belajar kendati banyak keterbatasan.
“Jadi pengalaman semalam bersama warga Orang Rimba atau SAD di Kabupaten Sarolangun tidak akan pernah saya lupakan. Saya melihat, pola nomaden (hidup berpindah-pindahdi hutan) Orang Rimba menjadi tantangan bagi guru yang mengajar anak-anak di sana. Guru diharuskan masuk ke hutan siang hari dan kadang-kadang mereka tidak menemukan para muridnya, karena mereka hidup berpindah pindah,"tuturnya.
Menurut Nadiem Makarim, kader-kader Pendidikan dan guru anak-anak Orang Rimba menceritakan, anak-anak Orang Rimba kadang harus diberikan makanan, pakaian, atau hal-hal baru untuk memberi semangat belajar.
“Saya sangat mengapresiasi jasa para guru di wilayah Orang Rimba. Perjuangan mereka mencerdaskan Orang Rimba sangat luar biasa. Tantangannya berat, namun mereka tetap konsisten memberi Pendidikan kepada anak-anak Orang Rimba,”ujarnya. (Matra/Radesman Saragih)
Posting Komentar