Kasus-kasus dugaan penyerobotan lahan yang dilakukan perusahaan kehutanan dan perkebunan yang selama ini mengendap dan tidak terselesaikan di Provinsi Jambi hingga kini masih kerap meletup menjadi aksi anarkis.
Kasus terbaru, yaitu aksi pendudukan lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dilakukan ribuan massa di lahan PT Wirakarya Sakti (WKS), Desa Terusan, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi medio Agustus ini.
Aksi pendudukan lahan yang terjadi sejak pekan pertama Agustus tersebut belum bisa diselesaikan hingga pekan ketiga Agustus ini. Ribuan massa yang mengatas-namakan diri dari Kelompok Tani Terusan Bersatu menduduki lahan PT WKS dengan mendirikan puluhan pondok.
Pengalaman selama ini menunjukkan, perusahaan HTI PT WKS menjadi salah satu perusahaan swasta terbesar yang terlibat kasus konflik lahan di Provinsi Jambi. Berdasarkan data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), PT WKS yang berada di bawah bendera Sinar Mas Forestry Group terlibat kasus konflik lahan di lima kabupaten.
Sebanyak 15 konflik lahan antara petani dengan PT WKS tersebut terdapat di Kabupaten Batanghari, Muarojambi, Tanjungjabung Barat (Tanjabbar), Tanjungjabung Timur (Tanjabtim) dan Tebo. Luas lahan yang terkait konflik di Kawasan PT WKS mencapai 14.286 hektare (ha). Sedangkan jumlah petani yang terlibat konflik lahand enggan perusahaan HTI tersebut mencapai 17.000 orang.
Di Kabupaten Batanghari sendiri, jumlah petani yang terlibat konflik lahan dengan pihak PT WKS mencapai ribuan kepala keluarga. Salah satu di antaranya petani dari Desa Terusan, Kecamatan Pemayung yang kini menduduki dan menggugat pengembalian lahan dari PT WKS. Luas lahan yang digugat petani dari pihak PT WKS tersebut mencapai 2.620 ha.
Tidak Mundur
Para petani Desa Terusan, Batanghari mengaku tidak akan pernah mundur untuk merebut kembali lahan mereka yang dikuasai PT WKS selama ini. Para petani bertekad merebut lahan tersebut karena mereka semakin kesulitan mendapatkan lahan pertanian untuk ekonomi keluarga.
Wakil Ketua Kelompok Tani Terusan Bersatu, Monok (45), di sela-sela aksi pendudukan lahan PT WKS di Desa Terusan, Batanghari, Provinsi Jambi baru-baru ini mengatakan, para petani sudah berkali-kali melakukan aksi pendudukan lahan tersebut. Namun pihak perusahaan tidak bersedia mengembalikan lahan yang ditanami tanaman hutan industry tersebut.
Dikatakan, para petani Desa Terusan selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi pendudukan lahan di areal HTI PT WKS ini. Para petani meminta lahan tersebut dikembalikan karena lahan tersebut merupakan lahan milik para petani secara turun-temurun. Petani mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batanghari segera menyelesaikan konflik ini.
“Aksi pendudukan lahan yang kami lakukan ini sudah sampai ke pusat (Kementerian Kehutanan). Jika pihak PT WKS tidak bersedia memenuhi tuntutan kami, kami akan tetap menduduki lahan ini hingga ada penyelesaian secara tertulis,"tegasnya.
Menurut Momok, jumlah petani yang melakukan aksi pendudukan lahan PT WKS di Batanghari tersebut sejak Sabtu (8/8/2021) hingga Minggu (22/8/2021) mencapai 300 orang. Para petani berasal dari Desa Terusan, Kecamatan Marosebo Ilir, Desa Pasar Terusan, Desa Simpang Terusan dan Desa Tenam, Kecamatan Muarabulian.
Kembali Beraksi
Dikatakan, sekitar 2.620 ha lahan petani di daerah tersebut digarap PT WKS sejak 1996. Perjuangan petani merebut kembali lahan tersebut tidak pernah berhasil di masa Orde Baru tersebut. Karena itu petani kembali melakukan aksi pendudukan lahan untuk menuntut hak mereka atas lahan tersebut.
“Kami mengklaim lahan yang diduga diserobot pihak PT WKS sekitar 2.620 ha. Lahan tersebut sudah ditanami kayu oleh PT WKS. Kami meminta lahan tersebut segera dikembalikan,”tegasnya.
Sementara itu, menyikapi aksi pendudukan lahan PT WKS yang dilakukan petani di Batanghari tersebut, Kepala Bagian Humas PT WKS Jambi, Taufik mengatakan, aksi pendudukan dan tuntutan pengembalian lahan tersebut tidak memiliki dasar hukum. Bahkan petani bisa terjerat hukum karena mereka menduduki lahan yang sudah memasuki tahap tiga kali penanaman.
“Klaim dan pendudukan lahan yang dilakukan petani ini tidak berdasar. Aksi petani tersebut melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Sesuai Undang-undang Cipta Kerja, pendudukan kawasan hutan secara tidak sah merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat di ancam dengan hukuman pidana. Apalagi objek lahan yang di permasalahkan petani seluas 2.620 ha milik PT WKS merupakan tanaman HTI yang sudah masuk tahapan penanaman ketiga,”ujarnya.
Menurut Taufik, pihak PT WKS selalu mendorong penyelesaian masalah dengan petani di Jambi. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.84/2015 dan P.83/2016, penyelesaian konflik lahan dengan petani dilakukan melalui program kemitraan kehutanan. Misalnya program peningkatan ekonomi kemasyarakatan yang tidak berbasis pada lahan, melainkan dalam bentuk Program Desa Makmur Peduli Api (DMPA).
“Selain itu melalui Permen LHK Nomor P.9/2021 sebagai pengganti Permen LHK No.83 tahun 2016, PT WKS terus berkomitmen untuk membangun kemitraan kehutanan dengan masyarakat yang terbukti sah (legitimate) dan masuk dalam kriteria mitra yang diamanahkan dalam Permen LHK Nomor P.9/2021,”katanya.
Sementara itu Kepala Bidang Sosial dan Kemanan (Head Social & Security) PT WKS, Faisal Fuad mengatakan, usulan program pemberdayaan masyarakat (DMPA) berbasis non lahan ini di Desa Terusan, Batanghari selalu ditolak oleh petani. Para petani tetap bersikeras untuk menuntut lahan yang luas (untuk budidaya non HTI) dan menutup diri terhadap opsi kemitraan usaha produktif (DMPA) yang diusulkan PT WKS.
“Banyak keberhasilan kemitraan PT WKS dengan petani di desa lain di Jambi tanpa basis lahan. Perusahaan dan petani sama-sama mendapatkan manfaat melalui program DMPA tersebut,”ujarnya.
Menyikapi tidak kunjung selesainya konflik lahan antara PT WKS dengan petani Batanghari tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batanghari juga berusaha mencari penyelesaian. Salah satu di antaranya, upaya penyelesaian konflik lahan sesuai aturan atau secara profesional.
Profesionalisme penyelesaian konflik lahan tersebut penting karena selain kasus konflik lahan antara PT WKS dengan Kelompok Tani Terusan Bersatu (KT-TB), kelompok tani lain yang dikomandoi Muslim Cs juga terlibat konflik lahan dengan perusahaan besar di Batanghari tahun lalu.
Kepala Seksi Penanaman Modal yang juga menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesauan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Batanghari, Ansori mengatakan, Bupati Batanghari, M Fadhil Arief meminta seluruh pihak harus melakukan melakukan penyelesaian konflik lahan secara profesional. Artinya, penyelesaian konflik lahan tersebut dilakukan sesuai dengan undangp-undang dan peraturan yang berlaku.
“Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam penyelesaian konflik lahan tersebut diharapkan tidak berpihak kepada pengusaha maupun petani. Dengan demikianpenyelesaian konflik lahan dapat dilakukan dengan cara win-win solution, sama – sama menang, tidak ada yang dirugikan,”paparnya.
Dijelaskan, konflik atau sengketa lahan tersebut sudah pernah dibahas secvara Bersama dalam pertemuan antara pihak perusahaan dan petani. Pada kesempatan tersebut hadir pihak perwakilan kelompok tani Desa Terusan dan pihak PT WKS. Namun pada pertemuan tersebut, pihak perusahaan menolak tuntutan petani.
Menurut Ansori, pihak perusahaan sudah membuka diri untuk penyelesaian konflik lahan tersebut dengan menawarkan kerja sama pola kemitraan Program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Namun petani tidak setuju. Sedangkan perusahaan juga tidak setuju mengembalikan lahan. Akibatnya pertemuan tersebut tidak menemukan solusi.
“Karena penyelesaian konflik lahan ini merupakan ranah Pemerintah Pusat, Pemkab Batanghari pun meminta PT WKS menyurati Kementerian LHK dan tim independen untuk melakukan verifikasi vaktual tentang subjek dan objek sengketa lahan,”katanya.
Salah satu kawasan hutan yang saat ini dikuasai perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT Wirakarya Sakti (WKS) di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi, baru-baru ini. (Foto : Matra/Ist) |
Tak Terselesaikan
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Jambi, Rudiansyah mengungkapkan, konflik lahan antara petani dan PT WKS di Jambi seolah bak bara api yang belasan tahun belakangan tak pernah terpadamkan. Hal tersebut tercermin dari masih seringnya terjadi letupan aksi unjuk rasa petani menggugat pengembalian lahan yang dikuasai PT WKS. Penyelesaian konflik lahan antara petani dengan perusahaan HTI tersebut pun lebih sering tak bisa diselesaikan.
Dikatakan, berdasarkan catatan Walhi Jambi, konflik lahan antara petani dengan PT WKS hingga kini setidaknya terjadi di 120 desa di lima kabupaten, yakni Kabupaten Tanjabbar, Tanjabtim, Batanghari, Muarojambi dan Tebo. Namun konflik lahan tersebut tidak semuanya terungkap ke publik.
Menurut Rudiansyah, brdasarkan kajian dan penelitian yang Walhi Jambi, hingga tahun ini masih ada 33 konflik lahan petani dengan perusahaan besar di Jambi, termasuk PT WKS. Dari 33 konflik lahan tersebut, hanya 10 kasus yang mendapat perhatian pihak perusahaan maupun pemerintah. Namun 10 konflik lahan tersebut pun tak mendapatkan penyelesaian secara tuntas.
“Konflik lahan tersebut sering mencuat ke permukaan dan menimbulkan gejolak. Bahkan tak jarang gejolak konflik lahan tersebut menelan korban jiwa dan merusak fasilitas yang telah dibangun masyarakat,”katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika baru-baru ini mengatakan, kebijakan pemerintah dan perusahaan menyikapi kasus konflik lahan di Jambi justeru sering menghambat proses penyelesaian konflik itu sendiri. Akibatnya petani di Jambi selalu kalah dalam penyelesaian sengketa lahan hingga kini.
"Sikap pemerintah dan perusahaan yang kurang berpihak terhadap masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan tersebut merupakan cerminan wajah buruk situasi agraria di Indonesia. Bahkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani dalam penyelesaian konflik lahan menunjukkan terjadinya pengabaikan negara terhadap situasi-situasi agraria yang terjadi di lapangan,"katanya.
Menurut Dewi Kartika, ketika MS Kaban menjadi Menteri Kehutanan tahun 2007, Pemerintah Pusat sempat menjanjikan pelepasan sekitar 41.000 ha dari lahan yang dikuasai PT WKS kepada petani Jambi. Namun janji tersebut hingga kini tak pernah ditepati.
Dikatakan, hingga kini ada tiga situasi yang dihadapi petani yang ada di Jambi terkait sengketa atau konflik lahan. Pertama, lahirnya SK-SK penerbitan izin HTI yang mengakibatkan banyak desa di Jambi masuk dalam konsesi PT WKS.
“Sesuai undang-undang, pihak PT WKS harus melepaskan lahan yang dikuasai mereka sesuai izin yang diberikan pemerintah jika petani sudah terlebih dahulu menggarap lahan tersebut. Namun aturan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan,”katanya.
Sementara itu berdasarkan catatan medialintassumatera.com, PT WKS yang pertama kali hadir di Jambi 15 Desember 1989 menguasai lahan yang cukup luas. Pertama beroperasi di Jambi, PT WKS hanya menguasai lahan hutan sekitar 1.000 ha.
Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 57/Menlhk/Setjen/PHL.0/1/2018 tanggal 26 Januari 2018 tentang Perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 744/Kpts-II/1996, PT WKS kini menguasai lahan di Jambi sekitar 290.378 ha.
Seluruh lahan tersebut ditanami hutan tanaman industri sebagai bahan baku industry pengolahan bubur kertas PT Lontar Papyrus dan Pulp Industry (LPPI) di Tanjungjabung Barat, Jambi. (Matra/Radesman Sargih/BerbagaiSumber)
Posting Komentar