(Matra, Jambi) – Ancaman kepunahan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) belakangan ini semakin nyata. Populasi satwa langka dilindungi tersebut semakin lama semakin berkurang. Gajah Sumatera semakin lama semakin banyak yang mati. Kematian gajah Sumatera umumnya disebabkan perburuan liar, konflik dengan manusia, terkena jerat babi hutan dan kehancuran habitatnya, hutan alam Sumatera.
Konflik manusia dengan gajah Sumatera tertinggi di Sumatera terjadi di Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam (NAD). Konflik manusia dengan gajah Sumatera di Tanah Rencong tersebut selama tujuh tahun terakhir mencapai 528 kasus. Konflik manusia dan gajah Sumatera di ujung Sumatera itu tahun 2015 mencapai 49 kasus, tahun 2016 (44 kasus) dan tahun 2017 (103 kasus).
Sedangkan konflik manusia dengan gajah Sumatera di NAD tahun 2018 sebanyak 73 kasus, tahun 2019 (107 kasus), tahun 2020 (130 kasus) dan Agustus 2021 (76 kasus). Sisa populasi gajah Sumatera di NAD sekitar 539 ekor. Di Provinsi Jambi, Riau dan Sumatera Selatan (Sumsel) sendiri pun masih sering terjadi konflik manusia dengan gajah akibat masuknya kawanan gajah ke perkebunan hingga permukiman warga. Karena itu keselamatan gajah Sumatera juga terjadi di Provinsi Jambi, Riau dan Sumsel juga semakin terancam.
Keluar Hutan
Ancaman utama yang
menghantui gajah di Jambi, Riau dan Sumsel saat ini, yaitu semakin seringnya
populasi gajah keluar dari habitatnya. Gajah Sumatera sering keluar dari kawasan
hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) wilayah Kabupaten Tebo (Jambi) dan
Indragiri Hulu (Riau). Kemudian gajah Sumatera di wilayah Sumsel juga sering
keluar dari habitatnya di Hutan Suaka Margasatwa Taman Gunung Raya. Gajah keluar dari habitatnya karena sumber makanan di hutan semakin menipis akibat kerusakan hutan maupun konversi hutan menjadi perkebunan.
Masuknya gajah ke kawasan perkebunan di Provinsi Jambi, Riau dan Sumsel membuat satwa langka tersebut berpotensi terkena jerat babi hutan yang dipasang petani atau pemburu. Salah satu kasus terbaru gajah Sumatera terkena jerat babi hutan terjadi di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi.
Seekor gajah Sumatera betina berusia sekitar lima tahun yang terpisah dari kelompoknya terkena jerat babi hutan di kawasan perkebunan Desa Taman Raja, Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjungjabung Barat, April lalu. Gajah Sumatera tersebut sempat masuk ke permukiman warga di Desa Taman Raja. Beruntung anak gajah tersebut berhasil diselamatkan pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi sebelum sempat binasa terkena jerat.
“Kelompok Cinta”
Kepala KSDA Provinsi Jambi, Rahmad Saleh didampingi Koordinator Loading (Pemindahan) Gajah Sumatera Albert, Tetanus di Jambi, baru-baru ini menjelaskan, gajah yang terkena jerat tersebut diduga anggota kelompok gajah Sumatera bernama “Kelompok Cinta” yang sejak Desember 2020 - Januari 2021 menjelajah ke wilayah Kabupaten Tanjungjabung Barat.
“Perkiraan itu kami ketahui berdasarkan alat pengirim sinyal atau GPS Polar gajah Sumatera ‘Kelompok Cinta’ yang kami pasang. GPS Polar kami menunjukkan gajah Sumatera dari ‘Kelompok Cinta’ tersebut berada di wilayah Tanjungjabung Barat Desember 2020 – Januari 2021," ujarnya.
Menurut Rahmad Saleh, gajah tersebut diduga tertinggal dari kelompoknya akibat terkena jerat babi hutan. Ketika ditemukan, kondisi gajah Sumatera tersebut sedikit pincang akibat kena tali jerat. Selanjutnya anak gajah tersebut dirawat secara intensif. Setelah kondis kesehatan gajah tersebut benar-benar pulih, gajah tersebut pun dikembalikan ke habitat/kelompoknya di kawasan TNBT, Tebo.
Dikatakan, Tim BKSDA Provinsi Jambi berhasil mengembalikan anak gajah Sumatera berusia lima tahun tersebut ke kelompoknya di kawasan TNBT, Kabupaten Tebo. Anak gajah Sumatera tersebut berhasil digiring selama dua hari dari Tanjungjabung Barat hingga ke area Bentang Alam TNBT, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Kamis (26/8/2021).
"Kami menyelamatkan anak gajah Sumatera yang memilkiki bobot sekitar 400 kilogram tersebut. Kami mengerahkan Tim Rescue (Penyelamat) Gajah dan warga masyarakat memindahkan anak gajah tersebut dari kawasan perkebunan lokasi warga di Tanjungjabung Barat ke lokasi rombongannya di kawasan TNBT, Tebo,"katanya.
Pemindahan gajah tersebut semula dilakukan menggunakan truk. Karena jalan berlumpur, truk pembawa gajah tersebut pun terpaksa ditarik dengan mobil lain dan dirorong ramai-ramai. Setelah itu gajah ditarik menggunakan gajah lain menuju lokasi pelepasliaran selama satu jam.
“Kami akan terus memantau kondisi gajah tersebut hingga 10 hari mendatang. Gajah tersebut selanjutnya akan dilepas ke lokasi kelompoknya sekitar 600 meter dari lokasi transit pelepasliaran. Kami sudah memasang kamera pemantau di lokasi kelompok gajah tersebut, yakni TNBT,”paparnya.
Menurut Rahmad Saleh, sejak 2018 - 2021, pihaknya sudah tiga kali menyelamatkan gajah Sumatera yang keluar dari habitatnya di TNBT. Medio akhir September 2018, BKSDA Jambi menyelamatkan seekor gajah Sumatera yang keluar dari TNBT ke kawasan Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari. Kemudian Desember 2021, pihak BKSDA Jambi juga berhasil menggiring dua ekor gajah Sumatera dari kawasan perkebunan di Tanjungjabung Barat ke TNBT.
Sementara itu, masuknya gajah Sumatera ke kawasan perkebunan juga terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau dan Kabupaten Ogan Komerung Ulu Selatan, Sumatera Selatan. Dua ekor gajah Sumatera yang tersesat di kawasan perkebunan Kecematan Peranap, Indragiri Hulu berhasil dikembalikan ke habitatnya, Taman Nasional Teso Nilo (TNTN), Kecamatan Pelalawan, Riau, Jumat (20/8/2021).
Kemudian dua ekor gajah Sumatera yang tersesat di kawasan perkebunan Kecamatan Mekakau Ilir, Ogan Komering Ulu Selatan diselamatkan ke Hutan Kawasan Suaka Margasatwa Gunung Raya, Sumatera Selatan, Kamis (26/8/2021).
Melihat berbagai ancaman terhadap kelestarian harimau Sumatera tersebut, sangat dibutuhkan upaya tak lelah dan tak henti menyelamatkan hutan yang menjadi habitat gajah Sumatera dari kehancuran. Kemudian dibutuhkan juga upaya penanganan kasus-kasus perburuan liar dan pengertian warga sekitar hutan menyelamatkan harimau Sumatera dari jerat babi hutan. Hal itu penting karena keberadaan harimau Sumatera belakangan ini bagaikan buah simalakama. Bertahan di hutan terancam kesulitan makanan. Sedangkan bila masuk perkebunan terancam bakal binasa. (Matra/Radesman Saragih/BerbagaiSumber)
Posting Komentar