. Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun (Bagian II), Menilik Kegamangan Gereja Simalungun Hadapi Pandemi Covid-19

Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun (Bagian II), Menilik Kegamangan Gereja Simalungun Hadapi Pandemi Covid-19

Oleh : Radesman Saragih, SSos*
Pengantar

Pekabaran Injil di Simalungun genap 118 tahun 2 September 2021. Setelah satu abad lebih Pekabaran Injil di Simalungun, perkembangan kehidupan religi, sosial budaya dan pembangunan di daerah maupun masyarakat Simalungun tergolong cukup pesat. Namun belakangan ini, misi Pekabaran Injil di Simalungun telah banyak berubah. 
 
Pola-pola Pekabaran Injil di Simalungun tak lagi semurni seperti masa – masa awal Injil ditaburkan di Simalungun. Untuk mengupas kecenderungan perubahan misi Pekabaran Injil di Simalungun tersebut, Redaksi medialintassumatera.com (Matra) menurunkan dua tulisan mengenai perkembangan Pekabaran Injil di Simalungun. Selamat membaca. *** 

Kecenderungan penerapan pola pelayanan bergaya kapitalis, feodalis, primordialis dan hedonis di tengah Pekabaran Injil di Simalungun belakangan ini membuat kalangan rohaniawan kurang mampu melakukan terobosan dalam penanggulangan masalah keuangan jemaat dan GKPS secara umum. Hal tersebut sedikit tergambar dari krisis keuangan yang dialami GKPS di masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 – 2021 ini.

Kalangan rohaniawan sepertinya “putus kamus” atau seolah gamang alias bingung meningkatkan pendapatan GKPS akibat keterpurukan ekonomi sebagian besar warga GKPS di tengah pandemi Covid-19. Dengan alasan pandemi Covid-19, para rohaniawan GKPS kurang berani melakukan terobosan menghimpun dana melalui pesta-pesta kuria seperti sebelum pandemi Covid-19.

Padahal semestinya, di tengah kesulitan ekonomi warga jemaat yang berpengaruh pada pendapatan GKPS, di situlah kalangan rohaniawan melakukan terobosan, menjadi “penyelamat” bagi gereja menggalang kebersamaan dan kepedulian menopang keuangan GKPS.  Penggalangan dana pelayanan gereja di tengah pandemi dapat dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan berbasis digitalisasi (media sosial/media digital).

Beberapa rohaniawan dan gereja GKPS di berbagai daerah perkotaan memang masih ada yang berupaya melakukan terobosan menggalang persembahan melalui berbagai cara di tengah pandemi Covid-19. Di antaranya menggelar pentas religi dan hiburan secara virtual (live streaming) untuk menghimpun dana pembangunan gereja maupun pelayanan diakonia gereja. 

Program-program live streaming di tengah pandemi Covid-19 yang dilakukan beberapa gereja perkotaan, perkumpulan budaya Simalungun dan artis Simalungun  cukup mampu menghasilkan pendapatan bagi gereja. Selain itu masih ada rohaniawan GKPS yang berjuang menghimpun dana dari berbagai pihak untuk menyumbangkannya kepada warga jemaat yang berkekurangan atau terdampak Covid-19.

Sedangkan sebagian besar gereja GKPS, baik di tingkat jemaat, resort dan distrik belum sepenuhnya melirik terobosan penggalangan dana dan pelayanan melalui pemanfaatan digitalisasi tersebut. Banyak gereja GKPS di tingkat jemaat, resort dan distrik terkesan pasrah saja menghadapi situasi kesulitan ekonomi dan pelayanan di tengah pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun (Bagian I), Memulihkan Kemurnian Misi Pelayanan Gereja di Simalungun

Jemaat Desa Terabaikan

Pekabaran Injil di Simalungun belakangan ini tampaknya juga memunculkan fenomena pengabaian pembinaan sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi jemaat GKPS wilayah pedesaan. Potensi-potensi sumber daya manusia, sumber daya alam dan ekonomi jemaat GKPS di wilayah pedesaan atau sentra-sentra pertanian kurang mendapat perhatian dari kepengurusan-kepengurusan GKPS. Padahal jumlah warga jemaat GKPS di wilayah-wilayah pertanian dan perkebunan cukup banyak.

Saat ini sekitar 120.409 jiwa atau 53,60 % dari total 224.649 jiwa warga jemaat GKPS berada wilayah pertanian dan perkebunan. Mereka tersebar di lima distrik wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya, yakni Distrik II, III, IX, X dan XI. Jika potensi sumber daya manusia dan ekonomi warga jemaat di sentra-sentra pertanian dan perkebunan tersebut diberdayakan secara optimal, tentunya sumber pendapatan GKPS dari persembahan mereka cukup besar. 

Namun kenyataan selama ini, potensi ekonomi warga jemaaat GKPS di wilayah pedesaan yang mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan tersebut kurang dimanfaatkan. Konsekuensinya, perekonomian jemaat GKPS di pedesaan juga kurang bekembang selama pandemi. Alhasil, kontribusi mereka juga terhadap GKPS melalui penghimpunan persembahan relatif kurang.

Pengamatan penulis di GKPS wilayah desa-desa terpencil di pesisir Danau Toba, Kabupaten Simalungun, kontribusi warga jemaat untuk menopang keuangan GKPS kurang maksimal. Kemudian kehadiran warga jemaat GKPS di desa-desa untuk beribadah di gereja maupun di rumah-rumah umumnya rendah. Kondisi demikian membuat persembahan warga jemaat untuk gereja pun tak bisa terhimpun sebagaimana mestinya.

Rendahnya kehadiran beribadah dan kontribusi melalui persembahan warga jemaat di desa-desa tersebut dipengaruhi kurangnya program-program jemaat setempat dalam memberdayakan warga jemaat. Baik itu pemberdayaan di bidang sumber daya manusia atau pelayanan sosial maupun pemberdayaan ekonomi.  Para pengurus gereja di pedesaan masih banyak yang mengutamakan rutinitas kegiatan – kegiatan ritual.

Hal itu tercermin dari kegiatan jemaat GKPS di daerah pedesaan yang hingga kini masih cenderung terfokus pada peribadahan semata. Sedangkan pemberdayaan sosial melalui penguatan kelompok – kelompok solidaritas sosial masih kurang. Kemudian pembinaan di bidang usaha-usaha ekonomi produktif bagi warga jemaat di desa-desa masih kurang diperhatikan kepengurusan jemaat GKPS pedesaan. Padahal GKPS memiliki misi di bidang pemberdayaan kemandirian ekonomi jemaat. 

Sebenarnya jika jemaat GKPS di wilayah Simalungun memiliki unit-unit usaha ekonomi produktif selama ini, misalnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pemberdayaan ekonomi jemaat GKPS pedesaan juga bisa dioptimalkan selama pandemi. Melalui UMKM, warga jemaat GKPS pedesaan bisa mendapatkan bantuan stimulan usaha ekonomi produktif dari Pemerintah Pusat. 

Bantuan Pemerintah Pusat untuk UMKM di seluruh Indonesia tahun 2020 mencapai Rp 2,4 juta/unit UMKM. Kemudian bantuan tahun 2021 sebesar Rp 1,2 juta/unit UMKM. Selain itu tahun ini juga masih ada bantuan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk usaha-usaha ekonomi kecil di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. 

 
Seandainya setiap GKPS di Simalungun memanfaatkan bantuan tersebut melalui UMKM jemaat, tentunya bantuan tersebut bisa dimanfaatkan mengembangkan usaha dan meningkatkan pendapatan warga jemaat. Peningkatan pendapatan warga jemaat tersebut tentunya secara signifikan juga bermanfaat menopang keuangan GKPS. Tetapi peluang-peluang usaha ekonomi produktif untuk warga jemaat GKPS di pedesaan tersebut kurang dimanfaatkan.

Selama pandemi Covid-19 ini misalnya, GKPS di desa-desa terpencil di pesisir Danau Toba dan daerah pelosok pegunungan masih kurang tersentuh pelayanan GKPS. Vaksinasi misalnya. GKPS sebetulnya memiliki lembaga pelayanan kesehatan, yakni RS Bethesda. RS tersebut bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah melakukan vaksinasi massal ke desa-desa terpencil di Simalungun. Namun peluang tersebut tampaknya kurang dilirik.

Selain itu, sosialisasi mengenai protokol kesehatan (prokes) juga sebenarnya bisa diintensifkan kepengurusan GKPS tingkat resort ke jemaat – jemaat agar warga masyarakat Simalungun patuh protokol kesehatan, yakni 5M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Tetapi tanggung jawab sosial tersebut juga kurang direspon.

Pengamatan penulis selama pandemi, belum seluruhnya jemaat GKPS mampu menjadi pionir penanganan Covid-19 di wilayah Simalungun. Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya warga Simalungun (termasuk warga GKPS) yang tidak divaksinasi hingga Agustus 2021 dan banyaknya warga Simalungun kurang patuh protokol kesehatan.

Sebelum terjadi gelombang kedua pandemi Covid-19 di Tanah Air tahun ini, warga Simalungun (termasuk jemaat GKPS) juga masih banyak yang melakukan acara-acara pesta yang menimbulkan kerumunan. Kondisi demikian membuat daerah – daerah terpencil di Simalungun juga ada yang terimbas Covid-19.

Orientasi Kota

Selama ini GKPS lebih cenderung memberikan pelayanan optimal di daerah-daerah perkotaan. Kepengurusan GKPS mengutamakan jemaat di perkotaan karena warga jemaat GKPS di perkotaan relatif memiliki kontribusi lebih besar terhadap kegiatan dan kebutuhan ekonomis gereja.

Warga jemaat GKPS perkotaan umumnya memiliki pendapatan yang memadai. Mereka banyak bekerja disektor jasa (swasta), perkebunan kelapa sawit, perdagangan dan pemerintahan. Selain itu sumber daya warga jemaat di wilayah perkotaan selama ini juga lebih memadai. Kekuatan ekonomi yang berpadu dengan kualitas sumber daya manusia tersebut membuat kesadaran warga jemaat perkotaan memberikan kontribusi tenaga, pikiran dan materi untuk pelayanan GKPS cukup signifikan.

Warga jemaat GKPS yang berada di wilayah perkotaan saat ini mencapai 90.813 jiwa atau 40,42 %. Mereka tergabung dalam 264 jemaat atau 41,38 % dari total 638 jemaat di seluruh GKPS. Warga GKPS di perkotaan umumnya berada di wilayah Distrik I, IV, V, VI dan VII. Warga jemaat daerah perkotaan tersebutlah yang selama ini banyak menjadi penggerak utama pelayanan dan keuangan jemaat GKPS.

Melihat potensi sumber daya manusia dan ekonomi jemaat di perkotaan tersebut cukup tinggi, GKPS pun seolah mencari cara mudah mengandalkan GKPS perkotaan untuk penopang kekuatan pelayanan dan ekonomi. Bahkan warga jemaat berkekuatan ekonomi memadai di perkotaan menjadi penopang utama pelayanan GKPS. Mereka selalu menjadi penyumbang (donatur utama) kegiatan-kegiatan besar di tengah GKPS, baik itu pesta-pesta dan pembangunan gereja (rumah ibadah).

Bahkan tak jarang, warga jemaat yang memiliki potensi ekonomi besar (pejabat dan pengusaha) di perkotaan menjadi donatur abadi di GKPS. Mereka selalu menjadi andalan memberikan sumbangan untuk pembangunan gereja dan pesta-pesta GKPS. Kondisi tersebut sebenarnya tidak baik. Masalahnya, mengandalkan beberapa sumber penopang dana di tengah gereja bisa membuat warga jemaat lainnya “lepas tangan” atau kurang responsif memberikan sumbangan.

Kemudian sistem donatur abadi yang selama ini terjadi di GKPS juga bisa membuat kelompok-kelompok donator menjadi “penguasa” di tengah gereja. Mereka mendominasi kebijakan – kebijakan pelayanan di tengah gereja karena mereka menjadi penopang utama dana. Padahal konsep-konsep pelayanan mereka kurang sesuai dengan konsep-konsep pelayanan di GKPS yang mengutamakan kebersamaan, kegotong-royongan dan kemandirian jemaat.

Kenyataan selama ini juga menunjukkan, tidak sedikit para “donatur tetap” GKPS harus disanjung-sanjung dan dihormati secara berlebihan. Terkadang donatur tetap tersebut dijadikan menjadi pejabat gereja. Rohaniawan pun sering lebih “takut” kepada pejabat dan donatur abadi di gereja ketimbang takut tidak melaksanakan aturan-aturan gereja. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kekuatan ekonomis di gereja sering harus menjadi "pejabat" penting di gereja terlebih dahulu baru mau memberi kontribusi untuk pembangunan gereja.

Sebenarnya, topangan persembahan atau donasi untuk pelayanan dan pembangunan gereja harus dilakukan secara bersama-sama. Kendati jumlah persembahan berbeda sesuai dengan kondisi ekonomi, namun semuanya memberi dengan suka cita, ikhlas dan sukarela demi kemuliaan Tuhan bukan kemegahan pribadi atau kelompok yang menjadikan kepengurusan di gereja sebagai dinasti marga dan kelompok sosial.

Seperti kata St Radiapoh Hasiholan Sinaga, SH (Bupati Simalungun) ketika beribadah di GKPS Jambi Februari 2021, pembangunan gereja jangan mengandalkan seseorang saja yang dianggap memiliki kekuatan ekonomi besar di GKPS. Bila hal tersebut terjadi, warga jemaat yang dijadikan “donatur utama” tersebut bisa juga pada akhirnya kewalahan. Untuk membangun gereja atau apapun kegiatan pelayanan di tengah gereja, semua warga jemaat harus berkontribusi secara maksimal.

Hal senada juga diakui Pdt Daniel Saragih, STh. Dalam tulisannya berjudul “Memberi Secara Kristen”, Pdt Daniel Saragih menyebutkan, pemberian persembahan atau donasi kepada gereja bukan hanya rutinitas melalui penyisihan sedikit penghasilan warga jemaat pada setiap kesempatan seperti pesta-pesta gereja.

Pemberian persembahan atau donasi ke gereja hendaknya selalu didasari kasih dan suka cita dengan tujuan menopang dan menguatkan gereja (saudara seiman). Persembahan atau donasi ke gereja bukan juga menjadikan seseorang menjadi donatur tetap di gereja. Tetapi yang terpenting bagaimana supaya warga jemaat secara keseluruhan bersikap murah hati, menyisihkan penghasilannya untuk pembangunan jemaat/gereja.

Hilang Subsidi Silang

Sebelum pandemi Covid-19, sistem pelayanan dan penghimpunan kekuatan ekonomi yang dilakukan GKPS tersebut memang cukup mampu menopang keuangan GKPS. Besarnya kontribusi GKPS perkotaan terhadap GKPS menjadi andalan kendati kontribusi GKPS dari pedesaan kurang optimal. Jadi kekuatan sumber daya dan ekonomi warga jemaat menutupi kekurangan kelemahan sumber daya dan ekonomi jemaat pedesaan. Istilahnya GKPS selama ini masih mampu melakukan subsidi silang antara GKPS yang memiliki kekuatan sumber daya dan ekonomi di perkotaan dengan jemaat GKPS di pedesaan.

Namun di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih 1,5 tahun, kekuatan sumber daya dan ekonomi jemaat GKPS perkotaan tidak lagi sepenuhnya diandalkan memberikan kontribusi menopang kegiatan GKPS di tingkat pusat dan pedesaan. Masalahnya, pandemi membuat ekonomi jemaat perkotaan banyak yang terdampak pandemi. Perusahaan-perusahaan besar, menengah dan kecil banyak tutup. Kondisi tersebut membuat warga jemaat banyak yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.

Besarnya dampak pandemi terhadap perekonomian jemaat GKPS di perkotaan membuat kondisi keuangan jemaat, resort, distrik di perkotaan rapuh. Hal itu berpengaruh juga terhadap kondisi keuangan GKPS di tingkat pusat. Situasi sulit tersebut menyebabkan GKPS pusat dan beberapa GKPS perkotaan pun mengalami defisit. Artinya pengeluaran tidak sebanding lagi dengan pendapatan. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi kemerosotan ekonomi jemaat di perkotaan, melainkan juga dipicu terhentinya kegiatan ibadah tatap muka di gereja dan rumah-rumah.

Seandainya pemberdayaan sumber daya dan ekonomi jemaat GKPS di pedesaan dilakukan seoptimal mungkin selama ini, GKPS masih mampu mengatasi kesulitan sumber daya pelayanan dan keuangan. Dikatakan demikian karena selama pandemi, ketahanan ekonomi daerah-daerah pertanian dan perkebunan lebih kuat dengan daerah-daerah perkotaan.

Nah, menyikapi kondisi keprihatinan yang dihadapi GKPS di tengah pandemi ini, pola-pola Pekabaran Injil (Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan) di seluruh jemaat GKPS harus kembali kepada pola humanis. Pelayanan di GKPS hendaknya kembali berorientasi pada kepedulian sosial, pemberdayaan sumber daya manusia dan ekonomi jemaat.

Seperti diungkapkan Pdt Jas Damanik, STh dalam tulisannya “Pengaruh GKPS di Simalungun serta Arah Kebijaksanaan dan Strategi Pengembangannya”, sejak manjae (memisahkan diri dari) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), GKPS teurus berupaya membebaskan warga masyarakat Simalungun dari keterbelakangan, kebodohan, penyakit dan kesejahteraan.

Misi itu terus diusung agar GKPS mampu menjadi Gereja yang mandiri dalam segi, pelayanan, termasuk keuangan. Untuk itu GKPS di masa awal berpisah dari HKBP mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat SD – SLTA. Komitmen GKPS meningkatkan pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan.

Selain itu  GKPS juga mendirikan lembaga pelayanan kesehatan, yakni RS Bethesda Seribudolok. Sedangkan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan pertanian, GKPS mendirikan Lembaga Pelayanan Pembangunan (Pelpem). Sejak 1990 – 2000, program peningkatan pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi tersebut juga terus menjadi prioritas GKPS.

Lembaga pendidikan, kesehatan dan pembangunan GKPS tersebut perlu terus diberdayakan untuk meningkatkan kualitas sumberdya manusia dan usaha ekonomi produktif seluruh warga jemaat GKPS, khususnya di pedesaan. Peningkatan ekonomi warga jemaat GKPS, khususnya di daerah pedesaan (Simalungun) dapat dilakukan melalui pembinaan, penyegaran dan pelatihan keterampilan demi peningkatan ekonomi warga jemaat. Peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi jemaat tersebut akan mampu menopang pelayanan dan keuangan GKPS di segala tingkatan.

Kalau sumber daya dan ekonomi seluruh warga jemaat GKPS kuat, tentunya ekonomi jemaat secara umum juga akan kuat. Jika kekuatan ekonomi warga jemaat yang kini mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber utama penghasilan kokoh, tentunya kekuatan ekonomi GKPS di semua tingkatan juga akan kokoh.

Selain itu, perubahan pola PI di Simalungun yang dalam sekian ratus tahun mengedapankan prinsip humanis dan kini semakin mengarah kepada gaya  kapitalis – feodalistik tentunya tidak bisa dibiarkan.  Bila para pelayan, pengurus dan rohaniawan di GKPS masih terus mengedepankan sifat-sifat kapitalis – feodalistik, hal tersebut tidak baik dalam perkembangan PI di Simalungun ke depan.

Gaya-gaya pelayanan kapitalis – feodalistik akan membuat jabatan-jabatan pelayanan/kepengurusan di GKPS akan tetap dimanfaatkan menjadi pentas kekuasaan, bukan ladang pelayanan. Keadaan tersebut tidak baik bagi perkembangan GKPS di era milenium ini. Masalahnya kalangan generasi muda Simalungun saat ini yang menjadi penerus PI di GKPS di masa mendatang membutuhkan pola-pola pelayanan bernuansa humanis.

Pola pelayanan humanis dalam PI di Simalungun seperti diterapkan para misionaris di Simalungunn sejak dahulu kala perlu dihidupkan kembali agar sifat-sifat egois, materialis, individualis dan hedonis di kalangan warga dan pelayanan GPKS di masa mendatang bisa dikikis habis. Pembangunan sifat kepedulian, kebersamaan dan kekeluargaan di tengah GKPS perlu dikembangkan agar GKPS bisa terus mengemban misi menjadi gereja yang pembawa berkat dan peduli di masa – masa kini dan masa depan.

Jadi di masa mendatang, pelayanan di GKPS diharapkan tidak lagi mengacu pada paradigma kapitalis yang hanya mengandalkan pelaku-pelaku ekonomi kuat, pejabat dan penguasa pemerintahan sebagai sumber penopang kekuatan ekonomi  gereja. Visi GKPS sebagai pembawai berkat dan peduli harus direalisasikan secara nyata melalui peningkatan ekonomi seluruh jemaat, peningkatan semangat kegotong-royongan dan mengembangkan aksi-aksi sosial.

Untuk itu penguatan sumber daya, solidaritas dan ekonomi jemaat di sentra-sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan harus diintensifkan di seluruh jemaat GKPS pedesaan. Kemandirian ekonomi seluruh jemaat GKPS di pedesaan dipadu dengan kontribusi jemaat GKPS di perkotaan akan mampu menopang kekuatan ekonomi GKPS pusat, distrik, resort dan jemaat. Melalui pola pelayanan seperti itu, tidak ada lagi pemikiran dan pelayanan yang berprinsip subsidi silang antara jemaat ekonomi kuat dan lemah.

Jika semua jemaat GKPS memiliki pondasi iman, pengetahuan, keterampilan, solidaritas dan ekonomi yang kuat, baik di desa maupun di kota, GKPS akan bisa memiliki pondasi pelayanan yang kuat juga. Bila hal tersebut bisa diwujudkan, GKPS akan tetap eksis di tengah berbagai tantangan di masa mendatang. Kemudian PI di Tanah Simalungun dan di kalangan warga masyarakat Simalungun di mana pun berada akan tetap berkelanjutan atau tidak sampai mentok seperti saat pandemi sekarang.***

·  * Penulis pengamat Pekabaran Injil di Simalungun yang juga Pemimpin Redaksi Medialintassumatera.com (Matra) tinggal di Kota Jambi.

 

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama