. Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun (Bagian I), Memulihkan Kemurnian Misi Pelayanan Gereja di Simalungun

Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun (Bagian I), Memulihkan Kemurnian Misi Pelayanan Gereja di Simalungun

Oleh : Radesman Saragih, SSos*

Pengantar

Pekabaran Injil di Simalungun genap 118 tahun 2 September 2021. Setelah satu abad lebih Pekabaran Injil di Simalungun, perkembangan kehidupan religi, sosial budaya dan pembangunan di daerah maupun masyarakat Simalungun tergolong cukup pesat. Namun belakangan ini, misi Pekabaran Injil di Simalungun telah banyak berubah. 
 
Pola-pola Pekabaran Injil di Simalungun tak lagi semurni seperti masa – masa awal Injil ditaburkan di Simalungun. Untuk mengupas kecenderungan perubahan misi Pekabaran Injil di Simalungun tersebut, Redaksi medialintassumatera.com (Matra) menurunkan dua tulisan mengenai perkembangan Pekabaran Injil di Simalungun. Selamat membaca.**** 

Pekabaran Injil yang dimulai 2 September 1903 telah membawa banyak kemajuan bagi warga masyarakat dan daerah Simalungun. Pekabaran Injil telah mampu membebaskan warga Simalungun dari belenggu animisme, kebodohan dan keterbelakangan. Besarnya pengaruh PI di Simalungun tercermin dari peningkatan jumlah warga Simalungun yang menganut Kristen, khususnya menjadi warga Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Selain itu warga masyarakat Simalungun juga semakin jarang yang terbelakang di bidang pendidikan.

Berdasarkan data Susukkara (Almanak) GKPS 2021, total jumlah warga GKPS di seluruh Indonesia saat ini mencapai 224.649 jiwa atau 60.307 kepala keluarga (KK). Warga jemaat GKPS tersebut tergabung dalam 638 jemaat, 148 resort dan 11 distrik. Sedangkan jumlah fulltimer aktif di GKPS saat ini mencapai 420 orang. Fulltimer tersebut terdiri dari pendeta 302 orang, penginjil 78 orang dan vikaris 40 orang. 

Mereka dibantu sekitar 8.532 sintua (penatua), 6.462 syamas (diaken) dan ribuan pengurus seksi/sektor. Warga Simalungun yang tergabung dalam naungan GKPS tidak hanya berada di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, tetapi juga sudah menyebar ke berbagai wilayah di Sumatera Utara, Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. 

Pesatnya perkembangan Pekabaran Injil di tanah Simalungun juga bisa dilihat dari semakin banyaknya gereja dari berbagai denominasi di wilayah Simalungun (Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun). Baik itu gereja denominasi Katolik, Pentakosta, Huria Batak Kristen Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gerja Batak Karo Protestan (GBKP) dan gereja lainnya. Warga Simalungun sendiri banyak juga yang tergabung di Gereja Katolik dan GMI.

Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Simalungun jumlah gereja di Kabupaten Simalungun hingga tahun ini sudah mencapai 1.246 gereja, terdiri dari 1.047 gereja Protestan dan 197 gereja Katolik. Sedangkan di Kota Pematangsiantar, jumlah gereja mencapai 288 unit, terdiri dari 189 gereja Protestan dan 29 gereja Katolik.

Sedangkan jumlah umat Kristen di Kabupaten Simalungun mencapai  379.900 jiwa, terdiri dari 308.840 jiwa warga Protestan (termasuk GKPS) dan 71.160 jiwa warga Katolik. Sedangkan jumlah umat Katolik di Kota Pematangsiantar mencapai 129.624 jiwa, terdiri dari Protestan sekitar 113.259 jiwa dan Katolik sekitar 16.365 jiwa.

Pendekatan Humanisme

Pesatnya perkembangan Pekabaran Injil di Simalungun tidak terlepas dari kejelian para misionaris asal Jerman melakukan pendekatan-pendekatan terhadap warga masyarakat Simalungun. Pada masa awal Pekabaran Injil di era penjajahan ratusan tahun silam ketika warga masyarakat Simalungun masih banyak yang menganut animisme, kehadiran para misionaris banyak mendapat  penolakan.

Menghadapi situasi tersebut, para misionaris pun mengabarkan Injil dengan humanis (rasa kemanusiaan dan kepedulian). Pendekatan humanis tersebut mengutamakan peningkatan pengetahuan, pelayanan kesehatan dan perbaikan ekonomi. Setelah itu para misionaris mengabarkan Injil dan mendapat sambutan warga Simalungun.

Misionaris pertama di Simalungun, Pdt Agust Theis yang pertama kali menjejakkan kaki di Pematangraya, Simalungun, Rabu, 2 September 1903 melakukan pendekatan humanis dan kebutuhan sosial dengan baik selama mengemban misi Pekabaran Injil.

Pendakatan humanis yang diusung Pdt Agus Theis (Rheinische Missionsgesellschaft/RMG) diwujudkan dalam bentuk perhatian terhadap masalah kesehatan dan ketertinggalan pendidikan (pengetahuan) yang dihadapi warga Simalungun. Ketika memulai mengajar baca, tulis dan hitung (calistung) anak - anak sekolah di Pematangraya (1904), Pdt August Theis juga menyediakan obat-obatan untuk orang sakit. Pelayanan tersebut membuat Pdt August Theis lebih cepat diterima warga masyarakat dan Pekabaran Injil yang dilakukannya mendapat respon warga Simalungun. (Pdt Jahenos Saragih, MTh, GKPS dari Mana Mau Ke Mana, 2003).  

 
Gerakan humanis di bidang kesehatan yang sejak awal digagas Pdt Agust Theis mencapai puncak dengan didirikannya Rumah Sakit (RS) Bethesda GKPS di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, 15 September 1953. Hingga masa Orde Baru, kiprah RS Bethesda Seribudolok dalam memperhatikan dan meningkatkan kesehatan warga Simalungun dan sekitarnya sangat baik.

Selain warga yang mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di RS Bethesda Seribudolok, pihak RS Bethesda juga intensif melakukan pelayanan kesehatan ke desa-desa terpencil, termasuk desa-desa pesisir Danau Toba wilayah Simalungun yang hanya bisa dijangkau menggunakan kapal motor dan sampan.

Di era 1970 – 1980 -an misalnya, RS Bethesda Seribudolok sendiri memiliki kapal khusus yang digunakan melakukan pelayanan kesehatan ke desa-desa pesisir Danau Toba di Kecamatan Purba (saat itu) dan Kecamatan Silimakuta. Pelayanan kesehatan yang dilakukan ke desa-desa dengan pola jemput bola tersebut umumnya bersifat preventif (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kualitas kesehatan).

Pelayanan kesehatan preventif dilakukan melalui vaksinasi, pemberian vitamin, termasuk obat cacing. Sedangkan pelayanan kesehatan promotif dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan warga, edukasi mengenai gizi keluarga dan pencegahan penyakit.

Sementara itu Pdt Agust Theis dan para misionaris asal Jerman di Simalungun juga memprioitaskan pelayanan pendidikan di tengah misi Pekabaran Injil yang diembannya. Pengembangan pendidikan tersebut ditandai dengan pembelajaran terhadap anak-anak dan warga (namaposo) Simalungun. Pembelajaran tersebut diawali tahun 1904 dengan mengajarkan baca, tulis hitung terhadap anak-anak di Pematangraya.

Kemudian para misionaris di Simalungun periode yang sama, seperti Pdt GK Simon yang bertugas di Pematang Bandar, Pdt Guillaume (Purbasaribu), Pdt Wisen Bruch (Parapat), Pdt Samuel Panggabean (Tigaras), Pdt E Muller (Pematangsiantar) juga membuka sekolah-sekolah untuk meningkatkan pengetahuan (sumber daya manusia) warga Simalungun. Melalui pembelajaran tersebut para naposo Simalungun pun bisa menjadi ujung tombak Pekabaran Injil di daerahnya sendiri.

Pelayanan pendidikan dalam misi Pekabaran Injil di Simalungun terus berkembang. Medio 1915, para misionaris  di Simalungun mendirikan Komite na Rah Marpodah (Komite Penasehat). Komite ini menyediakan buku-buku bacaan rohani dan umum yang digunakan di gereja dan sekolah-sekolah. Komite ini pun menerbitkan bulletin bulanan sebagai wadah komunikasi dan pencerdasan “Sinalsal”.

Pada kurun waktu yang sama berdiri juga kursus Kongsi Sintua (Kelompok Penatua) di Pematangraya dan Kongsi Laita (ayo kita pergi) di Sondi Raya (1931). Selanjutnya terbentuk juga Parguru Saksi Kristus (PSK) yang secara khusus mempelajari materi theologia. Para lulusan PSK yang mengikuti pendidikan sekitar 10 bulan menjadi pelayan pemberitaan Injil ke desa-desa di Simalungun. PSK pun menerbikan surat kabar bulanan Pangarah (Penggerak) sebagai pengganti Sinalsal (Cahaya). Berkat intensitas pendidikan tersebut, tahun 1952 sudah ada 114 guru yang dibina GKPS menjadi pengajar di sekolah-sekolah.

Pendirian Yayasan Pendidikan

Puncak misi pendidikan secara umum yang dipelopori para penginjil di Simalungun tersebut ditandai dengan berdirinya Badan Pendidikan GKPS di Sondiraya, Simalungun 6 September 1964 yang selanjutnya menjadi Yayasan Pendidikan GKPS. Setelah berdirinya yayasan tersebut, GKPS mendirikan sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah-daerah terpencil masa itu. Salah satu di antaranay pendirian SMP GKPS di Desa Haranggaol, Kecamatan Purba. 

Kemudian pendekatan kebutuhan sosial juga diwujudkan Pdt Agust Theis dengan peningkatan pengelolaan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan warga Simalungun. Para penginjil partikelir (tanpa bayaran) pada zaman dahulu juga dibekali keterampilan bercocok tanam dan beternak agar mereka memiliki sumber penghasilan keluarga di tempat pelayanan.

Keterampilan para penginjil partikelir di bidang usaha pertanian, peternakan, perikanan dan pertukangan juga menjadi contoh bagi warga masyarakat Simalungun meningkatkan sumber pendapatan dan gizi keluarga.

Sebagai puncak pengembangan misi pembangun kesejahteraan sosial tersebut GKPS pun membentuk lembaga khusus memperhatikan pembangunan masyarakat, yakni Pusat Pelatihan Pertanian (PPP) di Pematangsiantar. PPP yang kemudian berganti nama menjadi Pelpem (Pelayanan Pembangunan) didirikan 15 Januari 1965.

Pelpem ini menjadi salah satu ujung tombak GKPS meperhatikan berbagai masalah pembangunan di Simalungun. Misalnya pembangunan pertanian, sarana irigasi, sarana air bersih untuk masyarakat dan perhatian pada lingkungan hidup.

Sudah cukup banyak sarana irigasi dan sarana air bersih di Simalungun yang dibangun GKPS. Selain itu Pelpem GKPS juga berjuang di bidang pelestarian lingkungan hidup. Komitmen Pelpem GKPS dalam pelestarian lingkungan tersebutpernah mengantarkan Pelpem GKPS meraih prestasi lingkungan hidup tingkat nasional, tahun 2003. Ketika itu Pelpem GKPS masih dipimpin Aliumri Purba (alumni Sekolah Menengah Atas Negeri Seribudolok 1985).

Pesatnya pengaruh Injil dalam meningkatkan sumber daya manusia juga ditandai dengan tampilnya pemimpin Simalungun, yakni Bupati Simalungun. Sejak era 1985-an, Simalungun sudah dipimpin putra Simalungun sampai sekarang. Kemudian warga Simalungun yang berprestasi di bidang Pendidikan hingga ke tingkat nasional juga sudah muncul, yakni Prof Dr Bungaran Saragih, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), jawa Barat dan pernah menjadi Menteri Pertanian.

Kemudian Prof Dr Bintan Saragih, sang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selain itu salah satu putra Simalungun juga tampil sebagai seorang pemimpin di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PTPN, SP Sidadolog. Di sektor swasta juga tampil warga Simalungun, yakni keluarga St DJ Sinaga, pemilik usaha percetakan besar di Jakarta, CV Sardo. Hingga saat ini tak terhitung lagi putra-putri Simalungun yang sukses di berbagai bidang berkat kemajuan pembangunan sumber daya manusia.

Berbagai prestasi pembangunan di Simalungun yang dicapai GKPS tersebut tentunya bukan hanya hasil kerja para pengurus GKPS  di bidang pelayanan pendidikan dan pembangunan. GKPS cukup berhasil mengemban misi pembangunan sosial, ekonomi dan kerohanian tersebut berkat dukungan seluruh warga jemaat GKPS mulai dari desa hingga ke kota, baik di wilayah Simalungun, Pematangsiantar hingga di perantauan.

Warga GKPS antusias mendukung program-program Pekabaran Injil selama ratusan tahun berkat pendekatan humanis yang secara kontisten dipertahankan. Melalui pendekatan humanis tersebut, para misionaris, pelayan dan pengurus di semua tingkatan GKPS  selama ratusan tahun melakukan Pekabaran Injil dengan terlebih dahulu memikirkan dan mencari solusi terhadap masalah kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang dihadapi warga jemaat GKPS dan masyarakat Simalungun secara umum.

Kondisi Terkini

Memasuki era millenium atau globalisasi saat ini yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan industrialisai, prinsip-prinsip maupun pola-pola Pekabaran Injil di Simalungun yang mengutamakan gerakan humanis tersebut semakin tergerus.

Kemajuan zaman yang membuat umat manusia semakin memikirkan materi membuat pola Pekabaran Injil di Simalungun juga terpengaruh. Tanda-tandanya bisa dilihat dari program-program kegiatan gereja, pola-pola pelayanan dan sikap perilaku pelayan di GKPS yang semakin meninggalkan prinsip humanis.

Belakangan ini, program-program GKPS cenderung menonjolkan model-model kapitalis yang mengutamakan materi dan fisik dalam kegiatan Pekabaran Injil . Hal itu tercermin dari terus gencarnya pembangunan fisik rumah ibadah (gereja) dan fasilitas lainnya GKPS yang menelan dana ratusan juta hingga hingga puluhan miliar rupiah. 

Pelayanan yang mengutamakan peningkatan material dan fisik tersebut membuat pelayanan bersifat humanis seperti kegiatan-kegiatan diakonia sosial  kerap terabaikan.  GKPS di tingkat jemaat, resort dan distrik masih jarang mengadakan program-program pembinaan sumber daya manusia dan peningkatan usaha ekonomi warga jemaat. Baik di GKPS wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Selain itu, pembangunan fisik di GKPS yang masih terus meningkat membuat kepengurusan di GKPS banyak dipegang para pelayan yang tergolong memiliki materi. Padahal sebenarnya kemampuan manajerial, kepedulian sosial dan pemahaman theologis belum begitu mumpuni. 

Demi kecepatan pembangunan fisik gereja, warga jemaat yang memiliki kekuatan material (kapital) banyak mendapat dukungan menjadi pemegang tampuk kepengurusan gereja.  Kecenderungan tersebut juga sering membuat gereja agak “mengkultuskan” para pemilik materi di gereja dan mengabaikan warga jemaat yang kurang berpunya.

Fenomena atau gejala pelayanan gereja seperti ini membuat pola-pola Pekabaran Injil di Simalungun (baca daerah dan masyarakat) kerap menghilangkan roh kebersamaan. Tampilnya kekuatan warga jemaat atau pelayan berkekuatan ekonomi mapan tersebut membuat penonjolan sikap otoriterisme dan feodalis sering mencuat di tengah gereja.

Misalnya sikap para pengurus gereja yang anti kritik (kurang mau menerima pendapat), selalu mendikte alias mengatur para rohaniawan (fulltimer) dan mengabaikan program-program pemberdayaan sumber daya manusia dan ekonomi warga jemaat.

Kondisi pelayanan dan Pekabaran Injil yang mengutamakan materi dan bersifat kapitalistik tersebut sudah banyak membuat para pelayan dan warga jemaat biasa menarik diri dari kegiatan-kegiatan pelayanan. Sikap tersebut tercermin dari berkurangnya partisipasi pelayan dan warga jemaat biasa dalam kegiatan persekutuan, kesaksian dan pelayanan di gereja masing-masing. Bahkan tak jarang para pelayan dan warga jemaat yang terabaikan atau bahkan terpinggirkan di GKPS bisa “menyeberang” ke gereja lain yang dinilainya lebih memperhatikan keberadaannya.

Selanjutnya gaya pelayanan dan sikap perilaku para pelayan GKPS di era millennium ini juga semakin banyak yang mengarah kepada gaya primordialis. Hal tersebut nampak dari kegiatan-kegiatan periodesasi hingga penunaian tugas-tugas kepengurusan di gereja.

Sudah menjadi rahasia umum di GKPS belakangan ini, bahwa di setiap periodesasi kepemimpinan/kepengurusan sering muncul praktik-praktik politik praktis bergaya kapitalis dan feodalis. Praktik itu tergambar dari seringnya terjadi “kampanye – kampanye” terselubung hingga terbuka dalam pemilihan pengurus dan pemimpin di GKPS.

Terkadang pada periodesasi muncul gerakan persekongkolan menggelar black campaign (kampanye) hitam untuk “menyingkirkan” kader-kader pemimpin dan pengurus berkualitas. Kampanye-kampanye seperti ini kerap pula diiringi dugaan-dugaan money politic (politik uang), nepotisme  dan “suap” menjelang pemilihan hingga pasca pemilihan. Terkadang ambisi-ambisi pribadi dalam pemilihan kepengurusan ini juga mengabaikan kapasitas dan budi pekerti sosok yang akan dipilih.

Perubahan Pekabaran Injil di Simalungun bersifat kapitalis juga bisa dilihat dari munculanya gaya-gaya pelayanan yang mementingkan diri sendiri. Tak jarang kalangan pelayan (rohaniawan) di tengah gereja kurang peduli nasib sesama. Kecenderungan seperti itu membuat minimnya program-program pelayanan terhadap warga jemaat yang mengalami pergumulan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.  

Kalangan rohaniawan di GKPS juga masih banyak yang belum maksimal merancang hingga melaksanaan program-program pemberdayaan ekonomi warga jemaat. Mereka sering terlalu terfokus pada rutinitas peribadahan. Para rohaniawan kurang proaktif memberikan petunjuk dan motivasi bagaimana warga jemaatnya bisa keluar dari himpitan ekonomi.

Pola pelayanan seperti ini sering membuat warga jemaat GKPS yang kurang mapan secara ekonomi sering meninggalkan persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Mereka fokus bertarung menyelamatkan perekonomian keluarga. Situasi ini sering dimanfaatkan pihak-pihak gereja lain untuk merekrut warga jemaat GKPS yang terabaikan tersebut menjadi warga mereka.

Khusus wilayah perkotaan, tidak jarang warga jemaat GKPS yang kurang stabil secara ekonomi dan kurang dipedulikan. Ketika ekonomi warga jemaat tersebut sulit, sangat jarang ada topangan dari kepengurusan gereja. Fenomena tersebut belakangan ini membuat warga jemaat GKPS di perkotaan pindah gereja atau pulang kampung. (Bersambung)

 
*Penulis pengamat Pekabaran Injil di Simalungun yang juga Pemimpin Redaksi Medialintassumatera.com (Matra) tinggal di Kota Jambi.

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama