Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh (Putri Almarhum Pdt Jaulung Wismar Saragih) Tutup Usia 92 Tahun. |
(Jakarta, Matra)- Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) dan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) berdukacita atas wafatnya Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh di Jakarta, Rabu 10 Maret 2021 diusia 92 tahun. Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh adalah putri Simalungun Teolog pertama perempuan di HKBP dan juga merupakan Putri dari Pdt Jaulung Wismar Saragih, Ephorus GKPS pertama.
Pada Pesta Olobolob (J-116) GKPS Resort Cililitan yang dilaksanakan di Gedung Sejahtera, Cipayung, Jakarta, Minggu (15/9/2019) lalu, Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh ikut beribadah bersama, meski duduk di kursi roda.
Menurut Pdt Parulihan Sipayung, Ayah dari Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh adalah Pdt Jaulung Wismar Saragih yang menikah dengan Br Purba, adalah pendeta pertama di Simalungun. Ia dengan gigih menegaskan kemandirian Gereja, Teologi, Identity, dan Struktur Simalungun dari HKBP.
“Tapi putrinya, Pdt Minaria, kemudian menjadi Pdt HKBP hingga akhir hayatnya. Dialektika lain, Ephorus HKBP Pdt Dr Justin Sihombing (1942-1962) yang menikah dengan Bivo Lamian Saragih dari Raya Usang menahbiskan Pdt J Wismar. Dengan kata lain, secara kultural Amang Sihombing adalah boru-nya Oppung Wismar. Atau mereka mar-"lae"/tondong/hula-hula. Tapi secara struktur gereja Pdt J Wismar adalah "anggota" lembaga yang dipimpin Amang Sihombing,” tulis Pdt Parulihan Sipayung.
“Boleh dibilang ini sebagai relasi perichoresis kedua gereja. Atau Mutual - Space and Life - giving relation, atau inter-ecllesial beings; Atau sejenisnya. Cukup unik, dinamis dan cair memang. Hari ini (Rabu 10 Maret 2021) engkau kembali ke Penciptamu, membawa harta teologis dan historis dalam hidup dan memorimu. Sesuatu yang ingin kugali dan miliki tapi kini direnggut oleh waktu. Betapa kehilangan dan rasa bangga, seperti suka dan duka dalam tetes-tetes air mata memberangkatkanmu hari ini. Rest in Power Pdt. Minaria Sihite/Br. Sumbayak,” kenang Pdt Parulihan Sipayung.
Putri Simalungun
Sementara Pdt Bonar H Lumbantobing (Ephorus HKBP) menuliskan kisah perjalanan Theologia Pdt Minaria Br Saragih Sumbayak STh. Menurutnya, Pdt Minaria Br Saragih (Ny Alm Pdt DR W Sihite) merupakan Putri Simalungun Teolog pertama perempuan di HKBP. (RIP Minaria Saragih, STh-7 Juni 1929 – 10 Maret 2021).
“Pada bulan November (September?) 1986, pada saat penahbisan Pendeta, saya melihat Ibu Minaria Saragih berdiri mengenakan jubah pendeta dengan tenang dan tersenyum menunggu perarakan menuju Gereja HKBP Pematangsiantar. Saya mendekati Ibu Minaria Saragih dan mengajukan pertanyaan profokatif: “Mengapa Ibu tidak bersama-sama ditahbis dengan Pendeta Perempuan Pertama pada 27 Juli 1986 yang lalu?” Saat itu, perempuan pertama di HKBP ditahbis di Medan. Jawaban indah yang saya peroleh: “Saya sudah menantikan peristiwa ini puluhan tahun lamanya!” Pertanyaan jahat saya tidak dijawab. Saat itu Ibu Minaria sudah berusia 57 tahun. Pada usia itulah beliau ditahbis menjadi Pendeta, setelah lulus dari STT-Jakarta tahun 1959,” kata Pdt Bonar H Lumbantobing.
Pdt Bonar H Lumbantobing menerangkan, tata Gereja HKBP sebelumnya, kemungkinan ditetapkan tahun 1982, sudah mencantumkan bahwa yang dapat diangkat menjadi pendeta adalah “seorang laki-laki dan perempuan”. Kebuntuan sejak tahun 1950-an tentang ordinasi bagi perempuan berakhir sudah. Sejak ketetapan itu, beberapa perempuan yang sudah lulus dari Sekolah Teologi sebenarnya sudah dapat ditahbis. Mereka sudah sempat melayani di jemaat-jemaat, tetapi sesuai ketetapan Sinode tahun 1959, mereka dikhususkan untuk Pelayanan Anak dan Perempuan tanpa tahbisan.
Beberapa teolog perempuan itu masih terus bertahan di jemaat. Tetapi kemudian mereka satu per satu menikah lalu harus ikut suami dan meninggalkan jemaat. Minaria beruntung bisa menjadi Dosen Teologi karena tinggal bersama suami yang Dosen Fakultas Teologi UHN/STT-HKBP. Ada satu orang jadi isteri Pendeta.
Yang lain ikut suami tetapi tetap melayani di luar struktur gereja: Tianar Marpaung misalnya menjadi Guru Tetap di SMA Negeri 1 Medan merangkap beberapa sekolah lain. Ibu Simbolon-Sihombing menjadi staff di STT Jakarta bertahun-tahun hingga pensiun. Yang lain tetap mengurus rumah tangga, tetapi muncul sebagai part-time dalam kumpulan kaum Ibu dan gerakan perempuan gereja, seperti Mercy Tampubolon-Lumbantobing dari HKBP di Jakarta.
Pada tahun 1985 para teolog perempuan ini ditanya kesediaannya untuk ditahbis. Hanya dua orang yang bersedia, yaitu Minaria Saragih dan Tianar Marpaung. Maka pada tahun 1986 sudah ada calon pendeta perempuan yang sudah siap ditahbis.
Lalu pada tahbisan pendeta Juli 1986 di Medan satu orang perempuan turut ditahbis dan 4 bulan kemudian 2 orang lagi perempuan ditahbis, yaitu Minaria Saragih dan Tianar Marpaung. Hanya saya yang berotak usil dan bertanya mengapa tiga perempuan itu dipisah tanggal penahbisannya. Ibu Minaria tidak ambil pusing.
Namun demikian, Minaria Saragih tetaplah perempuan pertama yang belajar teologi di Sekolah Tinggi Teologi.
“Teologi Ordinasi”
Berikut adalah tulisan beliau yang saya salin dari buku “Teologi Ordinasi” yang editornya saya sendiri dengan Pdt Dr Darwin Lumbantobing, sebagai berikut:
"Saya lahir di Sipoholon Tarutung tanggal 7 Juni 1929 waktu bapak saya Pdt J Wismar Saragih bersekolah di Sekolah Pendeta HKBP di Sipoholon. Sesudah tamat, kami sekeluarga pindah dari Sipoholon ke Pematang Raya Kabupaten Simalungun Sumatra Utara. Di sinilah saya dibesarkan. Dan di sinilah Injil pertama di Simalungun. Saya diberi nama Minaria karena lahir di Seminari dengan panggilan Minar,” ujar Minaria Saragih dalam buku itu.
Bapak sayalah Guru Zending pertama dari orang Simalungun, dan jadi Pendeta pertama dan jadi Wakil Eporus pertama. Ada buku ditulis seorang Pendeta Orang Jawa, judulnya, “Pendeta Wismar Saragih Rasul Simalungun”.
Bapak saya juga satu-satunya orang Indonesia yang menterjemahkan Bibel ke dalam bahasa daerahnya, yaitu bahasa Simalungun.
Jalur pendidikan saya pasti berbeda dengan kebanyakan pendeta perempuan HKBP, jalur yang berliku tetapi ditemani Tuhan. Saya dahulu bersekolah di Sekolah Rakyat disebut Volksschool yang lamanya 3 tahun.
Kalau disambung, dikatakanlah itu Sekolah Sambungan 2 tahun lagi, atau Vervolgschool. Saya hanya mengikuti kelas hingga 3 tahun dan meneruskan ke Sekolah Belanda yang dibuka bapak saya bersama Raja Raya, agar anak anak tidak perlu ke Siantar untuk Sekolah Belanda.
Sekolah ini bernama “Christelijke Schakel School”. Tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia, dan semua sekolah yang berbau Belanda dibubarkan. Jadi di mana-mana yang ada Sekolah Jepang, bahasa pengantar adalah bahasa Jepang.
Di sekolah itu tidak ada belajar Agama dan tidak ada berdoa dan tidak ada lagi nyanyian Indonesia. Semua dalam bahasa Jepang. Adik dan abang saya ikut Sekolah Jepang, tapi saya tidak mau karena tidak ada berdoa dan bernyanyi rohani.
Jadi selama 6 tahun saya tidak bersekolah dan hanya membantu orangtua bertani dan berternak dan menemani Bapa mengunjungi jemat di desa, di sekolah dan di gereja. Pada umumya baru sedikit yang menjadi jemaat dan dilayani oleh Pendeta dan Guru dari Tapanuli.
Tahun 1948 sekolah dibuka kembali. Sekolah Guru dan SMP. Saya ingin ikut tapi tidak mungkin masuk SMP, karena umur saya sudah terlalu tua. Yang mungkin hanyalah Sekolah Guru tetapi harus melalui testing. Saya testing di sekolah Kristen Jalan Gereja Pematang Siantar.
Ada 40 orang kami berangkat dari Raya. Waktu ujian saya tidak mampu, saya tidak tahu bahasa Indonesia tidak pernah dengar dan tidak tahu pengetahuan umum tapi saya dapat nilai bagus untuk berhitung. Sebelum waktu pengumuman lulus, saya dipanggil guru masuk kantor.
Saya takut dan yakin pasti saya kalah karena saya saja yang dipanggil. Guru bertanya, “dari mana kau bersekolah?” Saya jawab: “Saya sudah 6 tahun tidak bersekolah.” Mereka adakan rapat. Mereka mendapat kesimpulan; anak ini pintar tapi salah dalam pendidikan.
Tuhanlah yang menolong saya dan mujizat terjadi. Dari semua kami yang 40 orang naik bus SEPADAN itu, saya sajalah yang lulus. Puji Tuhan, itu adalah mujizat. Saya memperoleh beasiswa. Sesudah selesai sekolah, saya termasuk pada 15 orang yang dipilih dari 90 orang meneruskan ke Sekolah Guru B. Kemudian saya boleh meneruskan ke SGA dan lulus.
Kemana lagi? Saya ingin jadi Pendeta, karena biasa ikut bapak melayani di jemaat. Waktu itu seorang Pendeta Jerman yang bekerja di HKBP, bernama Domine Boss, datang kepada Bapak saya dan berkata: “Bapa Pendeta, suruhlah anakmu si Minar ini masuk Teologia karena HKBP membuka Sekolah Theologia.”
Waktu pertama sekali HKBP membuka sekolah itu, perempuan boleh diterima belajar teologi. Tetapi Domine Boos memaparkan biaya kuliah dan Bapak saya tidak mampu karena sudah sakit-sakitan. Tapi bapa saya memberi semangat kepada saya, katanya, “Kemana pun engkau pergi, dan apapun yang kau kerjakan, kalau Tuhan memanggil engkau, pasti engkau dipanggil”. Kemudian saya diizinkan merantau merantau ke Jakarta.
Di Jakarta, saya melamar menjadi guru di Sekolah PSKD di Jalan Kramat 4 di Kernolong dan tinggal dirumah abang saya di Kebayoran. Suatu hari datanglah Lesman Purba anak Pdt Kerpanus Purba dari Simalungun, bersama dengan Surtan Marpaung anak Pendeta HKBP dari Narumonda.
Saya katakan kepada mereka, bahwa saya juga ingin kuliah dan ingin jadi Pendeta tetapi saya tidak mampu. Apa jawab mereka? “Kami juga anak Pedeta yang miskin tapi kami dapat beasiswa dari Sekolah. Bagaimana, kalau ada beasiswa, kau mau ikut kami?” Aku menyatakan kesediaan dengan gembira kalau memang ada dasan diperoleh untuk biaya kuliah.
Berapa hari berikutnya mereka datang lagi dan mengatakan, “Kami sudah tanya Rektor Pieter Latuihamallo dan ada beasiswa. Kau datang besok”. Saya langsung kuliah setelah mengikuti masa pelonco. Saya bersyukur sekali, Tuhan itu baik. Saya boleh kuliah tanpa harus pusing dengan biaya. Sesederhana itu? Tidak, karena ada syaratnya.
Syaratnya adalah nilai semester pertama harus baik dan kalau jelek, ya out. Memang begitulah peraturan di STT Jakarta waktu itu. Terimakasih Tuhan, ucapan bapak saya jadi kenyataan. Saya kuliah dan terimakasih tidak pernah mengulang, semua berjalan lancar dengan kerja keras dan dengan doa kepada Tuhan.
Tahun 1959 saya di wisuda dan kembali ke Simalungun dan bekerja. Saya mendapat tugas sebagai Pimpinan Wanita dan Pimpinan Sekolah Minggu. Belum ada pembicaraan akan masa vikariat atau tahbisan, karena Gereja Simalungun masih bernama HKBP-Simalungun, dan mempunyai peraturan yang sama dengan HKBP.
Sambil menantikan tahbisan saya mendapat kesempatan belajar di Selandia Baru, masuk Sekolah Theologia Knox College tapi tinggal di Deacones College. Saya belajar tapi juga mengunjungi jemaat, melihat kumpulan-kumpulan di jemaat, belajar tentang Sekolah Minggu, ikut Synode, ikut Konfrensi pemuda dan saya diterima sebagai tamu gereja.
Sebelum pulang ke Indonesia, saya mendapat kesempatan selama 6 bulan mengunjungi Gereja-gereja dari Selatan sampai Utara, di Gereja bangsa asli New Zealand, bangsa Maori dan kembali tinggal di Sidney selama dua bulan. Sungguh pengalaman yang berharga.
Saya kembali tahun 1964 bulan Maret kembali bekerja. Pdt Dr Wilmar Sihite kembali bulan Juni dari USA, dan kami menikah bulan Oktober. Setelah menikah, saya menjadi jemaat HKBP dan tinggal di kampus Universitas HKBP Nommensen di mana suami saya menjadi dosen, dari tahun 1964 sampai 1984, selama dua puluh tahun.
Banyak Mahasiswa yang sudah tamat. Mereka melihat langsung pelayanan saya. Dan tahun 1990 kami dipaksa kembali ke kampus itu selama 2 tahun. Berarti kami pernah tinggal di kampus “Theologia” selama 22 tahun.
Selama di kampus saya tetap aktif dan diizinkan mengajar walau keinginan saya menjadi pendeta tetap menyala dan tak padam. Pelajaran yang saya berikan antara lain : Bahasa Ingris untuk mahasiswa tahun pertama; Ilmu Agama termasuk Agama Primitip, agama Buddha dan Hindu dan Islam, dan juga Etika Kristen.
Bersama dengan Rev McIntosh, saya mengajar Sejarah Gereja Umum dan Indonesia. Saya juga mengajar Agama di Sekolah Perawat di Jalan Pane Siantar, mengajar Etika di FKIP Universitas HKBP Nommensen, dan mengajar Sekolah Bibel GKPS.
Saya juga dapat kesempatan mengajar bahasa Simalungun untuk Misionaris Jerman yang bekerja di Simalungun, dan bekerja mengajar Dosen yang bekerja di Rumah Sakit Umum Siantar. Saya mengajar dia bahasa Indonesia. Jadi saya beruntung mengerti banyak kesehatan, karena saya lihat dulu kuliahnya sebelum dia mengajar. Saya menikmati mengajar karena saya dari Sekolah Guru.
Selain mengajar di kelas, kami juga mencoba mengajar mahasiswa dengan contoh bagaimana hidup pendeta. Para mahasiswa Sekolah Teologi bisa melihat kami (saya dan suami walau lulus dari luar negeri) tetap tidak gengsi untuk berternak dan bertani.
Kami menanam singkong, pelihara babi, pelihara ayam petelor, ayam kampung dan ayam potong. Ini kami lakukan agar para calon Pendeta bisa melihat apa yang mereka bisa lakukan di jemaat khususnya, bila mereka tinggal di desa, sebagai kegiatan yang dapat menambah eokonomi keluarga mereka dan memberi contoh kepada jemaatnya bagaimana usaha keluarga.
Pada 7 Maret 1969, Bapak saya Pdt J. Wismar Saragih dipanggil bapa surga ke pangkuanNya. Saya sangat sedih karena saya tidak jadi pendeta yang menggantikan dia bekerja di jemaat. Saya menangis terlebih waktu datang rombongan dari Kantor Pusat, Eporus dengan teman-temannya yang bekerja di Kantor Pusat Gereja Simalungun.
Eporus GKPS waktu itu marah, beliau bertanya “Kenapa kau menangis seperti itu Minar?” Apa yang saya katakan? Saya menyurakan hati saya, “Bapak saya meninggal dan tidak ada yang meneruskan jejaknya. Aku mau tetapi tidak diterima karena perempuan”.
Dan apa yang terjadi? Pada bulan berikutnya diadakan Sinode dan disana ditetapkan bahwa Gereja Simalungun menerima Perempuan jadi Pendeta. Tapi waktu itu tidak ada perempuan yang sudah lulus Sekolah Teologi.
Saya tidak mungkin pindah lagi, saya sudah menjadi warga HKBP dan ikut suami, sudah menikah dengan dua anak. Tapi 2 tahun kemudian sudah ada perempuan jadi Pendeta di Simalungun dan sekarang sudah banyak (saya pikir, perlu juga menangis, ini kelemahan dan kekuatan wanita).
Ada beberapa orang perempuan di HKBP yang sudah diterima di Sekolah Teologi dan sudah lulus, tapi mereka tidak jadi pendeta atau batal ditahbiskan dan mereka diterima dan bekerja sebagai Bibelvrow, kemudian mereka menikah dan tidak melanjutkan pelayanan itu lagi.
Tahun 1985 para perempuan ini ditanya oleh Kantor Pusat HKBP, apakah mau dan bersedia lagi menerima tahbisan sebagai Pendeta. Kebanyakan tidak bersedia. Alasan yang mengemuka antara lain, “Kami sudah menikah, biarlah kami mengurus suami kami saja.” Waktu itu hanya Tianar boru Marpaung dan saya Minaria Saragih yang bersedia. Saya juga dapat izin dan dukungan dari suami, Pdt Dr Wilmar Sihite. Kami ditahbiskan pada September 1986 di HKBP Pematang Siantar.....…..”
Perjalanan beliau sangat panjang kemudian. Bersama dengan suami, Pdt Minaria Saragih melayani di Jakarta. Suami beliau, Pdt Dr W Sihite, meninggal sebelum pensiun dan Pdt Minaria Saragih terus melayani, bahkan puluhan tahun sesudah pensiun.
Walau dalam kursi roda pun, beliau tetap berkhotbah di HKBP mau pun di GKPS dan berbagai perkumpulan. Tidak kenal lelah. Beliau menjadi inspirator bagi para teolog perempuan dan seluruh warga jemaat yang mengenal beliau. Tanggal 10 Maret yang lalu, ‘kemah’ beliau dibongkar, “ dan Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di Sorga….., suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia. (2 Kor 5:1). (Asenk Lee Saragih/Berbagaisumber)
Posting Komentar