Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Salah satu dampak buruk dari Pemilu dengan sistem proporsional terbuka yakni politik uang. Tidak banyak calon legislatif dari pusat hingga daerah yang berani dan terbuka menyatakan tidak menggunakan politik uang.
Demikian juga pada rumpun eksekutif, hampir tidak ada calon kepala desa, calon kepala daerah, hingga calon presiden yang secara terbuka berani menyatakan “tidak menggunakan politik uang”. Politik uang bukan lagi seteru, tetapi menjadi sekutu demokrasi. Kualitas dan kapasitas calon tidak penting, yang utama adalah isi tas.
Sejak nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) muncul di bursa calon gubernur (Cagub) Sumatera Utara (Sumut), rakyat (kembali) bergairah. Ahok, yang hingga saat ini belum pernah datang, belum ada bentuk tim pemenangan, relawan, belum sebar bahan kampanye berupa spanduk, baliho, kaos, stiker, ternyata “cukup mengusik” elit politik.
Belum ada satu rupiah (Rp1) pun uang Ahok maupun timnya keluar, tetapi politik Indonesia sudah berisik. Bahkan para elit politik nasional dan Sumut terpaksa melempar sentimen “putra daerah, dan keturunan asli Sumut” demi “menolak Ahok”.
Ahok sejatinya sama dengan Cagub yang lain, memiliki hak maju di Pilkada di seluruh daerah. Sama dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang, yang baru saja mendapat “golden ticket” dari Mahkamah Agung (MA).
Kaesang yang balihonya terpampang di Depok, Bekasi, Jakarta, tidak pernah dipersoalkan asal usulnya sebagai “putra daerah” mana oleh elit politik pendukung Jokowi. Seakan khusus keluarga Jokowi boleh maju di Pilkada manapun yang diinginkan. Sementara Ahok harus dipersoalkan dengan alasan bukan “putra daerah dan asli keturunan Sumut”.
Rekam jejak Ahok bersih dari politik uang dan sembako sejak ikut Pemilu. Dimulai sebagai Caleg DPRD Belitung Timur (menang), Bupati Belitung Timur (menang). Calon Gubernur Bangka Belitung (kalah) Caleg DPR RI (menang), Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Jokowi (menang).
Hingga Calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat (kalah). Tidak ada catatan buruk Ahok dalam semua Pemilu yang diikuti. Ahok selalu percaya diri dan percaya pada rakyat di semua jenis Pemilu yang diikutinya.
Maka yang menakutkan dari kehadiran Ahok di Sumut bukan karena Ahok bukan putra daerah, atau asli keturunan Sumut. Ahok ditakuti karena tanpa politik uang pun Ahok akan didukung dan dipilih rakyat. Uang dari Cagub lain “tidak akan laku” jika Ahok ikut bertarung sebagai Cagub Sumut.
Ahok merusak skenario elit politik yang selalu merendahkan rakyat. Elit politik yang menilai suara rakyat dapat dibeli dengan uang dan sembako. Sementara Ahok akan dipilih meski rakyat dihujani uang dan sembako oleh Cagub lain.
Ahok membawa harapan baru sebagai Cagub yang tidak mau menyuap rakyat. Ahok tidak menghina dan merendahkan martabat rakyat dengan uang maupun sembako. Ahok menjadikan rakyat mulia, terhormat, dan berdaulat dalam memberi setiap suara di bilik suara.
Bahkan saat memiliki kekuasaan pun Ahok tidak mau melakukan “abuse of power” melalui program bantuan sosial, hibah, atau pengerahan aparat pemerintah daerah saat bertarung di Pilkada. Ahok seperti namanya, Cahaya dari Purnama dalam gelapnya demokrasi dalam cengkraman oligarki. (Penulis Adalah Fungsionaris PDIP)
Posting Komentar