. Ketua DPRD Provinsi Jambi : Semua Pihak Perlu Memiliki Keinginan Baik Selesaikan Konflik Lahan

Ketua DPRD Provinsi Jambi : Semua Pihak Perlu Memiliki Keinginan Baik Selesaikan Konflik Lahan

Diskusi pembahasan konflik lahan antara DPRD Provinsi Jambi dan Komisi IV DPR RI di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin (18/4/2022). (Foto : Matra/HumasDPRDJambi).

(Matra, Jambi) – Penyelesaian konflik lahan yang diupayakan Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi bukan untuk mempersulit investor di Jambi. Penyelesaian konflik lahan tersebut justru untuk menjamin kelancaran dan kemajuan investasi tanpa ada sengketa dengan warga masyarakat Jambi. 

“DPRD Provinsi Jambi yang berupaya menyelsaikan konflik lahan bukan untuk idak mempersulit investasi di Jambi. DPRD Jambi mendukung investasi, tetapi tidak ingin ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan investor sehingga merugikan masyarakat Jambi. Investasi kami dukung, tapi masyarakat juga perlu makan,”tegas Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto pada diskusi penyelesaian konflik lahan di DPRD Provinsi Jambi, Senin (18/4/2022).

Diskusi tersbeut dihadiri pimpinan DPRD Provinsi Jambi, Pansus Konflik Lahan DPRD Provnsi Jambi, Komisi IV (bidang pertanian, lingkungan hidup, kehutanan dan kelautan) DPR RI, Gubernur Jambi, Al Haris, Kapolda Jambi, Irjen Pol A Rachmat Wibowo dan Danrem 042/Gapu Jambi, Brigjen TNI Supriono.

Menurut Edi Purwanto, hingga kini masih banyak konflik lahan di Jambi yang belum terselesaikan. Konflik lahan tersebut sering menimbulkan konflik fisik antara petani dengan pihak perusahaan. Namun penyelesaian konflik lahan tersebut tak kunjung bisa dituntaskan. Karena itulah DPRD Provinsi Jambi membentuk Pansus Konflik Lahan.

“Untuk menyelesaiakan konflik lahan di Jambi, seluruh pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders) perlu memiliki niat baik (political will) yang sama. Niat baik tersebut tidak hanya dari petani, dewan, pengusaha dan pemerintah, tetapi juga dari DPR RI maupun Pemerintah Pusat. Hal ini penting karena kewenangan pemerintah daerah menangani konflik lahan sangat terbatas,”katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin pada kesempatan tersebut mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya Pansus Konflik Lahan DPRD Povinsi Jambi melakukan berbagai terobosan memfasilitasi penyelesaikan konflik lahan di Jambi. Daerah lain ada yang memiliki konflik lahan sangat banyak dan besar, namun pihak DPRD-nya tidak sampai ngotot membentuk Pansus Konflik Lahan seperti dilakukan DPRD Provinsi Jambi.

“Kami mendukung upaya Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi menyelesaikan konflik lahan di daerah ini. Setelah rekomendasi Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi dibawa ke sidang paripurna nanti, kami mohon bisa diberikan dokumen lengkapnya agar bisa kami tindaklanjuti,”katanya.

Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi IV DPR RI, Djarot Saiful Hidayat. Menurut Djarot  Saiful Hidayat, jika pola-pola yang dijalankan maupun direkomendasikan Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi dapat membuahkan hasil, maka pola penyelsaian konflik lahan tersebut dapat menjadi model atau contoh penyelesaian konflik lahan di daerah lain.

“Kami berpendapat, negara tidak boleh kalah dengan korporasi dalam penyelsaian konflik lahan ini. Jika unsur Forkopimda Jambi kompak, penyelesaian konflik lahan dapat dilakukan dengan baik. Saya mengapresiasi konerja pansus konflik lahan dewan di Jambi ini demi terwujudnya keadilan sosial,”katanya.

Ketua DPRD Provinsi Jambi, H Edi Purwanto pada rapat Pansus Sengketa Lahan DPRD Provinsi Jambi, baru-barui ini (Foto : Matra/HumasDPRDJambi).

Sementara itu, Sekretaris Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, Ivan Wirata mengharapkan pihak Komisi IV DPR RI bisa menindaklanjuti hasil Pansus KOnflik Lahan DPRD Provinsi Jambi tersebut.

"Kami berharap hasil pansus konflik lahan selama ini bisa dieksekusi atau ditindaklanjuti pihak DPR RI. Kami berharap Komisi IV DPR RI ini menjadi perpanjangan tangan di tingkat nasional menuntaskan penyelesaian konflik lahan di Jambi,”ungkapnya.

Menurut Ivan Wirata, salah satu bentuk konflik lahan yang mendapat perhatian Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi, yakni adanya perusahaan yang tidak mengelola kawasan hak guna usaha (HGU) yang mereka kuasai. Misalnya satu perusahaan perkebunan kelapa sawit menguasai kawasan HGU hingga 15.000 hektare (ha). Namun HGU yang mereka kerjakan hanya 7.000 ha.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika baru-baru ini mengatakan, kebijakan pemerintah dan perusahaan menyikapi kasus konflik lahan di Jambi justeru sering menghambat proses penyelesaian konflik itu sendiri. Akibatnya petani di Jambi selalu kalah dalam penyelesaian sengketa lahan hingga kini.

"Sikap pemerintah dan perusahaan yang kurang berpihak terhadap masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan tersebut merupakan cerminan wajah buruk situasi agraria di Indonesia. Bahkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap petani dalam penyelesaian konflik lahan menunjukkan terjadinya pengabaikan negara terhadap situasi-situasi agraria yang terjadi di lapangan,"katanya.

Salah satu kawasan hutan yang saat ini dikuasai perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT Wirakarya Sakti (WKS) di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi, baru-baru ini. (Foto : Matra/Ist)

Konflik HTI

Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Jambi, Rudiansyah mengungkapkan, selain perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta, konflik lahan dengan warga masyarakat atau petani Jambi dengan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) juga cukup banyak.

Salah satu konflik lahan antara perusahaan HTI PT WKS. Berdasarkan catatan Walhi Jambi, konflik lahan antara petani dengan PT WKS hingga kini setidaknya terjadi di 120 desa di lima kabupaten, yakni Kabupaten Tanjabbar, Tanjabtim, Batanghari, Muarojambi dan Tebo. Namun konflik lahan tersebut tidak semuanya terungkap ke publik.

Menurut Rudiansyah, berdasarkan kajian dan penelitian yang Walhi Jambi, hingga tahun ini masih ada 33 konflik lahan petani dengan perusahaan besar di Jambi, termasuk PT WKS. Dari 33 konflik lahan tersebut, hanya 10 kasus yang mendapat perhatian pihak perusahaan maupun pemerintah. Namun 10 konflik lahan tersebut pun tak mendapatkan penyelesaian secara tuntas.

“Konflik lahan tersebut sering mencuat ke permukaan dan menimbulkan gejolak. Bahkan tak jarang gejolak konflik lahan tersebut menelan korban jiwa dan merusak fasilitas yang telah dibangun masyarakat,”katanya.

Seperti pernah diberitakan, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan, ketika MS Kaban menjadi Menteri Kehutanan tahun 2007, Pemerintah Pusat sempat menjanjikan pelepasan sekitar 41.000 ha dari lahan yang dikuasai PT WKS kepada petani Jambi. Namun janji tersebut hingga kini tak pernah ditepati.

 

Dikatakan, hingga kini ada tiga situasi yang dihadapi petani yang ada di Jambi terkait sengketa atau konflik lahan. Pertama, lahirnya SK-SK penerbitan izin HTI yang mengakibatkan banyak desa di Jambi masuk dalam konsesi PT WKS.

“Sesuai undang-undang, pihak PT WKS harus melepaskan lahan yang dikuasai mereka sesuai izin yang diberikan pemerintah jika petani sudah terlebih dahulu menggarap lahan tersebut. Namun aturan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan,”katanya.

Sementara itu berdasarkan catatan medialintassumatera.com (Matra), PT WKS yang pertama kali hadir di Jambi 15 Desember 1989 menguasai lahan yang cukup luas. Pertama beroperasi di Jambi, PT WKS hanya menguasai lahan hutan sekitar 1.000 ha.

Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 57/Menlhk/Setjen/PHL.0/1/2018 tanggal 26 Januari 2018 tentang Perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehutanan No. 744/Kpts-II/1996, PT WKS kini menguasai lahan di Jambi sekitar 290.378 ha.

Seluruh lahan tersebut ditanami hutan tanaman industri sebagai bahan baku industry pengolahan bubur kertas PT Lontar Papyrus dan Pulp Industry (LPPI) di Tanjungjabung Barat, Jambi. (Matra/AdeSM)

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama