Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan KPPPA, Titi Eko Rahayu (kanan) dan Wakil Ketua Komnas Perempuan RI, Olivia Chadijah Salampessy (kiri) sebagai pembicara pada Webinar Mengawal UU TPKS di Jakarta, Sabtu (23/4/2022). (Foto : Matra/Ist).
(Matra, Jambi) – Kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih cukup tinggi. Selama tahun 2021, sedikitnya 27.127 orang perempuan dan anak di negara kita ini menjadi korban tindak kekerasan. Sedangkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terungkap di Indonesia tahun lalu mencapai 25.210 kasus. Kasus tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih banyak yang tidak dilaporkan karena pihak keluarga, saksi mata dan korban tidak melapor.
Hal tersebut terungkap pada Webinar (Seminar Virtual/Online) bertajuk “Mengawal UU TPKS di Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA)", Jakarta, Sabtu (23/4/2022). Webinar tersebut diselenggarakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Tampil sebagai pembicara pada webinar tersebut, Staf Ahli Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Titi Eko Rahayu dan Wakil Ketua Komnas Perempuan RI, Olivia Chadijah Salampessy.
Titi Eko Rahayu mengatakan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia selama ini merupakan situasi yang sangat kritis dalam Program Perlindungan Perempuan dan Anak di Indonesia. Karena itu upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia perlu terus digencarkan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI, Olivia Chadijah Salampessy pada kesempatan tersebut mengatakan, seringnya terjadi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dipengaruhi kondisi Indonesia yang masih berkembang. Kondisi tersebut menbuat adanya stigma atau anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang biasa mendapat kekerasan.
Dikatakan, stigma ini pun seringkali dilegitimasi oleh media dengan cara membuat penulisan yang tidak membela perempuan yang menjadi korban kekerasan, terutama tindak kekerasan yang dilakukan suaminya atau orang terdekat.
Bahkan, lanjutnya, sebagian besar masyarakat masih sering bersikap tidak mau ikut campur urusan tindak kekerasan perempuan dan anak yang dilihatnya. Hal tersebut menjadi dilema yang membuat korban sangat terpuruk dan dipojokkan, tanpa pembelaan. Padahal sikap seperti itu akan membuat pelaku merasa aman dan biasa saja ketika melakukan tindak kekerasan terhadap isteri atau anaknya.
UU Meredam
Menurut Titi Eko Rahayu, pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di DPR RI, Selasa (12/4/2022) menjadi kabar gembira sekaligus harapan besar bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dari kasus kekerasan perempuan dan anak. Bahkan UU TPKS tersebut akan bisa meredam kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia yang meningkat drastis beberapa tahun belakangan.
Dijelaskan, UU TPKS merupakan bentuk kehadiran Negara untuk melindungi dan memenuhi hak korban kekerasan seksual. Tentu sangat banyak sekali hal yang sudah dipikirkan dan disiapkan, mengingat UU TPKS sangat komprehensif dari hulu sampai hilir. Dalam UU TPKS tersebut terdapat substansi baru yang berperspektif pada korban.
Titi Eko Rahayu lebih lanjut mengatakan, salah satu upaya penting yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perlidungan perempuan dan anak, yaitu menyiapkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRRPA) di Indonesia. Dalam DRPPA, desa tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya, khususnya perempuan dan anak. Kemudian desa tersebut juga harus memenuhi hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
“Desa tersebut harus memiliki sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak serta kelompok rentan (lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui dan lain-lain),”ujarnya.
Dikatakan, agar DRPPA dapat terwujud, desa harus melakukan beberapa hal. Di antaranya, pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender yang dibarengi dengan proses membangun kesadaran kritis perempuan.
Kemudian menciptakan lingkungan yang mendukung proses tumbuh kembang anak serta mendorong peran dan tanggung jawab kedua orang tua dan keluarga dalam pengasuhan anak yang berkualitas.
Selain itu, desa harus melakukan upaya-upaya khusus untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selanjutnya mengembangkan solusi bagi pekerja anak dalam rangka mengurangi pekerja anak dan melakukan upaya khusus untuk penghentian perkawinan anak.
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis pada webinar itu mengatakan, FJPI menyambut baik disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS pada 12 April 2022. Pengesahan UU TPKS tersebnut merupakan permulaan yang sangat baik bagi semua kalangan di Indonesia melakukan pembenahan untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk tindak kekerasan.
“Para jurnalis bisa membantu melalui berita untuk menyosialisasikan UU TPKS dan menyiarkan tentang DRPPA. Hal ini penting agar semakin banyak masyarakat yang paham tentang UU TPKS dan bagaimana masyarakat di desa khususnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan dan pengembangan diri, “ katanya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA, Indra Gunawan mengatakan, UU TPKS menunjukkan kehadiran negara dalam memenuhi kewajiban memberi perlindungan bagi korban sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945 maupun peraturan lainnya.
“UU TPKS juga dianggap sebagai undang-undang yang komprehensif, sehingga peraturan pelaksananya harus segera diwujudkan untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat sesegera mungkin,”katanya. (Matra/AdeSM).
Posting Komentar