. Perempuan Jangan Dijadikan Objek Eksploitasi Pemberitaan Pers

Perempuan Jangan Dijadikan Objek Eksploitasi Pemberitaan Pers

Para pembicara Webinar (Seminar Online) bertajuk “Tantangan Jurnalis Perempuan di Era Digital” yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Jakarta, Sabtu (5/2/2022). (Foto : Matra/Ist).

(Matra, Jambi) – Pers atau media di Indonesia diharapkan tidak menjadikan kaum perempuan sebagai objek eksploitasi pemberitaan hanya sekadar menaikkan jumlah pembaca.  Eksploitasi pemberitaan berlebihan mengenai kehidupan perempuan harus dihentikan karena hal tersebut berpotensi menurunkan harkat dan martabat kaum perempuan. 

Demikian salah satu pendapat yang mengemuka pada Webinar (Seminar Online) bertajuk “Tantangan Jurnalis Perempuan di Era Digital” yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Jakarta, Sabtu (5/2/2022). Webinar tersebut digelar bekerja sama dengan Dewan Pers dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2022.  

Tampil sebagai pembicara pada webinar yang diikuti anggota FJPI se-Indonesia tersebut, Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosianna Silalahi, Industry Partnership Manager Tiktok Indonesia, Oky Dwiputra.  

Agus Sudibyo pada kesempatan tersebut mengatakan, pemberitaan berlebihan mengenai perempuan hanya untuk menaikkan jumlah pembaca, pemirsa dan pendengar media massa merupakan tindakan eksploitasi. Karena itu pemberitaan yang mengarah kepada eksploitasi perempuan tersebut harus dihentikan. 

"Jangan jadikan perempuan menjadi objek penulisan berita yang mengarah pada pelecehan perempuan. Kemudian media massa diharapkan jangan menggunakan jurnalistime firasat untuk menulis berita karena hal melanggar kaidah jurnalistik yang mengharuskan berita bersifat objektif dan akurat",  ujarnya.  

Menurut Agus Sudibyo, insan pers di Tanah Air hendaknya mampu melakukan pengawasan intern mengenai pelanggaran-pelanggaran pemberitaan mengenai perempuan. Hal itu penting karena Dewan Pers memiliki keterbatasan mengawasi pemberitaan media massa di tengah ledakan penerbitan media online (digital) saa ini. 

“Dewan Pers juga memiliki masalah untuk mengawasi serta memantau berita yang beredar untuk dilakukan pengawasan. Pers belum menemukan model pemantauan berita yang cepat agar berita-berita yang melanggar kode etik jurnalistik dapat ditangani lebih cepat,”katanya.

Agus Sudibyo mengatakan, industri media massa mengalami beberapa perubahan penting ditengah perkembangan digitalisasi. Jumlah media online kini sudah lebih banyak daripada media konvensional seperti surat kabar, majalah, radio dan televisi. 

Berdasarkan data Dewan Pers tahun 2019, jumlah media massa di Indonesia sudah mencapai 47.000 penerbitan. Jumlah media online sekitar 43.803 penerbitan, media cetak (2.000), radio (674) dan televisi (523). Sejumlah media massa konvensional sudah berhenti beroperasi. Namun ada juga yang bisa beradaptasi dengan digitalisasi dan menerapkan serangkaian strategi. 

“Pesatnya perkembangan digitalisasi tersebut menimbulkan tantangan tersendiri bagi jurnalis perempuan. Tantangan tersebut antara lain meningkatnya pemberitaan mengenai perempuan yang melanggar kadidah-kaidah atau etika jurnalistik,”katanya. 

Sementara itu, Rosiana Silalahi yang pada kesempatan tersebut mengupas materi “Menjadi Jurnalis Perempuan di Era Digital” mengatakan, kaum perempuan yang terjun di dunia jurnalis perlu memiliki keberanian. Para jurnalis perempuan harus berani menghadapi persaingan ketat dunia jurnalis di era digitalisasi karena digitalisasi media tidak bisa ditolak. 

“Era digital merupakan sesuatu yang penting karena ada pemberdayaan perempuan di dalamnya. Jurnalis perempuan harus berdaya melawan eksploitasi perempuan di dunia jurnalistik digital. Jadi jurnalis perempuan itu harus berani untuk bicara, menentang berita yang menyudutkan perempuan untuk clickbait (klik umpan),"ujarnya. 

Menurut Rosianna Silalahi, bahwa selain membuat kredibilitas di masyarakat, jurnalis perempuan juga harus memiliki integritas untuk diri sendiri. Untuk itu, jurnalis perempuan diharapkan menghindari eksploitasi pemberitaan mengenai kaumnya.  

Sementara itu, Oky Dwiputra yang membahas masalah Pemanfaatan Tiktok untuk Kreativitas Media Jurnalis Perempuan mengatakan, Tiktok yang merupakan aplikasi yang saat ini memiliki banyak pengguna harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Pemilik akun bisa mengunggah, membagikan kontrak yang diciptakan, mulai dari hiburan, musik, film dan sebagainya. 

“Saat ini jurnalis perempuan lebih mudah membuat konten untuk dimasukkan ke dalam akun tiktok dalam bentuk berita secara video,  audio, bahkan tulisan. Ini sangat mudah ya untuk para jurnalis perempuan,  apalagi sudah memiliki basic (dasar) sebagai seorang jurnalis,”katanya. (Matra/AdeSM).

Berita Lainya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama