ILUSTRASI-MINOL. |
(Matra, Jambi)-Peredaran minuman keras (miras) secara ilegal kerap menjadi pemicu timbulnya aksi kekerasan di tengah keluarga dan masyarakat. Bahkan peredaran miras merambah hingga pelosok Suatera. Akibat peredaran miras yang tak terkendali, sehingga menimbulkan gejolak sosial, semisal persoalan keamanan lingkungan dan kekerasan rumah tangga.
Kabar gembira, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut lampiran pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur tentang izin investasi minuman keras (miras) atau beralohol.
"Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Presiden Jokowi dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Menyikapi Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal menuai kontra. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menilai fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak dipicu minuman keras banyak terjadi pada daerah yang dilegalkan penanaman modal miras yaitu Bali, Sulawesi Utara, NTT, dan Papua.
Sebelumnya, melalui Perpres 10 Tahun 2021, pemerintah menetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt, terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua, dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Theresia Iswarini menjelaskan Bali, Sulut, NTT dan Papua adalah daerah dengan catatan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tinggi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)pada 2018 juga mencatat bahwa daerah tersebut alami peningkatan konsumsi miras selama 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA), Papua memiliki jumlah kasus KDRT yang tinggi. Salah satunya disumbang oleh tingginya konsumsi minuman keras.
Kemudian, Riset Kesehatan Dasar pada 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi alkohol Papua sebesar 9,9 poin per bulan, lebih tinggi dari tingkat nasional yaitu 5,4 poin per bulan. Sementara itu indeks pembangunan gender di Papua pada 2019 berada di level 80.05.
"Sehingga menunjukkan masih terendah di Indonesia. Hal tersebut juga berkorelasi dengan tinggi lebih jauh situasi ini juga juga menyumbang rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (2020) untuk Provinsi Papua sebesar 60,84," kata Theresia.
Lalu dalam data Badan Pusat Statistik pada 2020 angka tersebut menurun sebesar 0.40 poin atau turun -0.66% dibandingkan tahun 2019. Kemudian ketimpangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antarkabupaten dan kota di Papua tercatat menjadi yang paling tinggi dan menjadi tantangan terbesar dalam pembangunan.
KDRT
Kemudian dalam studi tematik pada 2014 dan 2017 oleh Smeru di lima kabupaten di Indonesia, yaitu: Deli Serdang, Cilacap, Timur Tengah, Kubu Daya, dan Pangkajene, ditemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi akibat kesulitan ekonomi, asmara, dan kebiasaan minum-minuman keras.
Sementara dari statistik gender tematik pada 2017 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik menunjukkan prevalensi kekerasan fisik terhadap perempuan oleh suami atau pasangan yang pernah minum miras tiga kali lipat dibandingkan yang tidak pernah minum miras.
Kemudian prevalensi terjadinya kekerasan seksual pada perempuan yang minum miras lebih dari dua kali lipat dibandingkan mereka yang tidak pernah minum miras. "Terkait miras, bisa jadi perilaku ini sebagai akibat dari tindak kekerasan atau memang kebiasaan yang sudah dilakukan sejak sebelum menikah," ungkapnya.
Pihaknya juga mencermati kasus kekerasan seksual yang korbannya dicekoki miras dan terjadi pemerkosaan secara berkelompok. Korban pun kata dia harus berhadapan dengan situasi akibat perkosaannya secara fisik dan psikis.
Korban harus berhadapan dengan hukum normatif yang mengandalkan pada kesaksiannya. Korban yang tidak sadar pada akhirnya tidak mampu memberikan kesaksian yang kuat dan bahkan sulit mengingat pelaku pemerkosaan.
"Pada akhirnya korban tidak dapat memenuhi unsur pembuktian dan kehilangan akses terhadap hukum dan keadilan," ungkapnya.
Presiden Jokowi Cabut
Perpres tersebut terbit pada 2 Februari 2021 sebagai peraturan turunan UU tentangn Cipta Kerja. Perpres itu memang tidak mengatur khusus miras melainkan soal penanaman modal, namun di dalam lampiran III Perpres disebutkan bahwa investasi baru untuk industri minuman beralkohol di daerah tertentu di Indonesia dapat dilakukan, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua.
Presiden Jokowi menyebut keputusan untuk mencabut aturan itu diambil setelah mendengar berbagai masukan. "Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ungkap Presiden.
Lampiran III Perpres Nomor 10/2021 menyebutkan investasi miras hanya diperbolehkan di Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Namun, penamanan modal untuk industri di luar daerah-daerah tersebut dapat dilakukan bila ditetapkan oleh Kpala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarlan usulan gubernur. Hal tersebut termuat dalam Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf a dan b.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tidak melonggarkan pembatasan konsumsi minuman beralkohol. Artinya, konsumsi minuman beralkohol tetap dibatasi.
Menurut Pingkan, perpres ini tidak mengubah ketentuan pembatasan konsumsi maupun distribusi minuman beralkohol yang sudah diatur oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, Dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta perubahan-perubahannya hingga yang terbaru di No 25 Tahun 2019.
Papua Kaji
Hal ini menurutnya patut diperhatikan agar masyarakat terinformasikan dengan benar dan tidak terbawa oleh polemik yang terjadi di publik saat ini terkait dibukanya pintu investasi untuk sektor minuman beralkohol (minol).
“Pemahaman yang memadai oleh aparat dan masyarakat sangat diperlukan supaya tidak terjadi aksi-aksi yang nantinya berdampak negatif pada kondusivitas situasi dan kondisi dalam negeri. Situasi yang kondusif saat ini sangat dibutuhkan sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi,” kata Pingkan Audrine, Selasa (2/3/2021).
Sebagai informasi, Perpres tersebut menyebut daftar negatif investasi (DNI) telah digantikan oleh daftar positif investasi (DPI). Pasal 2, disebutkan bahwa semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali pada bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal (poin a) atau hanya untuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat (poin b).
Untuk poin a, ketentuan lebih lanjut mengacu kepada Pasal 12 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah digantikan oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sedangkan kegiatan yang dimaksudkan pada poin b adalah kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan keamanan dan bersifat strategis.
Perekonomian Daerah
Dalam Pasal 3 dari Perpres Nomor 10 Tahun 2021, terdapat empat klasifikasi dari daftar bidang usaha terbuka, yaitu bidang usaha prioritas (Lampiran I), bidang usaha yang dialokasikan atau kemitraan dengan Koperasi dan UMKM (Lampiran II), bidang usaha dengan persyaratan tertentu (Lampiran III), serta bidang usaha yang tidak termasuk ke dalam tiga kategori terdahulu.
Minuman beralkohol masuk ke dalam Lampiran III. Pada daftar yang memuat 46 bidang usaha dengan persyaratan tertentu turut memasukkan Industri Minuman Keras Mengandung Alkohol dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI 11010), Industri Minuman Mengandung Alkohol: Anggur (KBLI 11020), dan Industri Minuman Mengandung Malt (KBLI 11031) ke dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan bahwa ketiga jenis ini penanaman modalnya baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Di luar hal tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat menetapkan daerah lain berdasarkan usulan dari gubernur. Aturan inilah yang kemudian menimbulkan pro dan kontra. “Perlu dipahami kalau ketentuan mengenai pembatasan konsumsi dan distribusi minuman beralkohol masih berlaku dan tidak berubah,” tegas Pingkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Regulasi tersebut, antara lain mengatur penanaman modal minuman beralkohol (minol) di sejumlah provinsi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyatakan, dibukanya keran investasi minol akan menggenjot perekonomian di daerah. Terlebih perekonomian di daerah destinasi wisata.
“Perpres ini membuka investasi minuman beralkohol tidak di seluruh Indonesia dan sifatnya bottom up. Investasi diizinkan apabila Gubernur sebagai pemimpin daerah mengajukan usulan,” kata Piter Senin (1/3/2021).
Piter menuturkan, investasi minol bisa mendorong perekonomian daerah yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Sebab, turis asing sangat dekat dengan kebiasaan mengonsumsi minol.
“Meskipun negara kita mayoritas muslim tetapi ada daerah yang mayoritas nonmuslim dan ada daerah-daerah tersebut yang menyandarkan perekonomian mereka ke pariwisata mancanegara,” kata Piter.
Piter mengatakan, investasi minol bukan mengajak masyarakat di daerah untuk mengonsumsi alkohol. Piter menyebut produksi minol dari investasi tersebut justru bisa memenuhi kebutuhan para turis yang datang ke daerah pariwisata.
“Isu minuman beralkohol sangat sensitif. Perpres ini jangan diartikan pemerintah mendukung masyarakat meminum alkohol,” tegas Piter.
Piter menyatakan, kebijakan mengendalikan konsumsi minol bisa dilakukan antara lain lewat cukai atau melarang masyarakat meminumnya.
Ketentuan tersebut harus ditegakkan sepenuhnya bahwa ada law enforcement yang lebih efektif mengendalikan konsumsi minol.
“Karena menjaga masyarakat untuk tidak meminum minuman beralkohol adalah konteks kebijakan yang lain,” tutur Piter.
Sekadar diketahui, Perpres 10/2021 merupakan pelaksanaan Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. Aturan soal minol itu tercantum dalam lampiran III perpres, yakni soal daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu.
Salah satu alasan pemerintah membuka peluang investasi tersebut secara terbatas yakni agar kegiatan yang sudah ada, dan berbasis budaya/kearifan lokal menjadi legal. Dengan begitu, lebih menguatkan pengawasan dan kontrol atas produksi dan distribusinya.
Kepentingan Negara
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, keputusan ini diambil Presiden Joko Widodo atas dasar pertimbangan dan kajian yang mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari para tokoh agama dan masukan dari provinsi dan daerah. Keputusan diambil juga dengan memperhatikan dinamika aspirasi dalam konteks kebaikan.
“Ini adalah sebuah bukti dan tanda bahwa Presiden sangat demokratis, sangat aspiratif mendengar masukan yang konstruktif untuk kebaikan bangsa. Ini adalah contoh pemimpin yang kita bisa ambil jadi rujukan dalam mengambil keputusan, selama masukan-masukan itu konstruktif. Pikiran-pikiran para ulama dan tokoh agama lain adalah sebuah pemikiran yang konstruktif dan substantif dalam rangka mana kepentingan negara yang harus diselamatkan secara mayoritas,” kata Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (2/3/2021).
Namun, Bahlil juga memahami keinginan dunia usaha yang menginginkan agar kebijakan ini tetap dilanjutkan. “Kita harus bijak melihat, mana kepentingan negara yang lebih besar. Apalagi, kita umat beragama yang tahu ajaran kebaikan,” kata Bahlil.
Bahlil menambahkan, sejak 1931 hingga saat ini sebetulnya sudah ada izin membangun industri minuman beralkohol di Indonesia. Bahkan, ada sekitar 109 izin yang keluar di 13 provinsi di Indonesia.
Aturan tentang izin investasi baru dalam industri minuman keras (miras) mengandung alkohol yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal telah resmi dicabut.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan, aturan investasi dalam industri miras tersebut ada dalam lampiran III Perpres 10/2021 yang memuat 46 daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan tertentu, yaitu nomor 31 industri minuman keras mengandung alkohol, nomor 32 industri minuman mengandung alkohol: anggur, dan nomor 33 industri minuman mengandung malt. Hanya tiga bidang usaha inilah yang dicabut aturannya, sedangkan bidang usaha lainnya tetap terbuka dengan persyaratan tertentu.
“Perpres 10/2021 ini tetap berlaku, kecuali lampiran III nomor 31,32, dan 33 yang berbicara tentang alkohol, itu yang dicabut. Selebihnya tetap berlaku,” kata Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (2/3/2021).
Untuk daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu nomor 44, yaitu perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol, ketentuan ini memang tidak dihapus.
Menurut Bahlil, aturan perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol sebetulnya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan, di mana penjualannya hanya bisa dilakukan di tempat-tempat khusus.
“Jadi ini dua hal yang berbeda. Kalau yang nomor 31,32,33 ini bicara industrinya. Sedangkan yang 44 bicara tentang tempat untuk melakukan proses penjualan, jadi tidak ada korelasinya,” tegasnya.
Bahlil menyebut, keputusan mencabut lampiran III nomor 31,32 dan 33 dalam Perpres 10/2021 ini diambil Presiden Joko Widodo atas dasar pertimbangan dan kajian yang mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari para tokoh agama dan masukan dari provinsi dan daerah, dan juga memperhatikan dinamika aspirasi dalam konteks kebaikan.
“Ini adalah sebuah bukti dan tanda bahwa Presiden sangat demokratis, sangat aspiratif mendengar masukan yang konstruktif untuk kebaikan bangsa. Ini adalah contoh pemimpin yang kita bisa ambil jadi rujukan dalam mengambil keputusan, selama masukan-masukan itu konstruktif. Pikiran-pikiran para ulama dan tokoh agama lain adalah sebuah pemikiran yang konstruktif dan substantif dalam rangka mana kepentingan negara yang harus diselamatkan secara mayoritas,” kata Bahlil.(Matra/Berbagaisumber/Lee)
Posting Komentar