Oleh : Radesman Saragih, S.Sos*
Perkembangan pers Indonesia di tengah pesatnya teknologi informasi, digitalisasi dan kemerdekaan pers sekarang ini mengalami lompatan yang sungguh luar biasa. Indikatornya bisa dilihat dari pertambahan jumlah media massa dan jumlah wartawan di Indonesia. Pertumbuhan pers yang luar biasa di Tanah Air kita ini juga cukup mengesankan karena sudah banyak bermunculam media massa dan wartawan hingga ke daerah-daerah terpencil.
Berdasarkan data Dewan Pers, jumlah media massa di Indonesia saat ini sudah mencapai 47.000 penerbitan, baik media cetak, radio, televisi dan media online (cyber). Jumlah media media cetak sekitar 2.000 penerbitan, radio (674 stasiun), televisi (523 stasiun) dan media online sekitar 43.803 penerbitan. Sedangkan jumlah wartawan atau jurnalis di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 120.000 orang. Wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi sekitar 14.000 orang.
Melihat banyaknya media massa dan jurnalis tersebut, semestinya pers Indonesia sudah bisa menciptakan kondisi kehidupan masyarakat yang aman, sejahtera, cerdas, sehat dan hidup dalam kerukunan. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Di tengah lompatan besar pertambahan media massa dan jurnalis, kehidupan masyarakat Indonesia masih sering dihantui konflik sosial, intoleransi, ketidak-amanan, kesulitan ekonomi, ketertinggalan pendidikan, kerusakan lingkungan, bencana alam dan kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Melihat banyaknya media massa dan jurnalis tersebut, semestinya pers Indonesia sudah bisa menciptakan kondisi kehidupan masyarakat yang aman, sejahtera, cerdas, sehat dan hidup dalam kerukunan. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Di tengah lompatan besar pertambahan media massa dan jurnalis, kehidupan masyarakat Indonesia masih sering dihantui konflik sosial, intoleransi, ketidak-amanan, kesulitan ekonomi, ketertinggalan pendidikan, kerusakan lingkungan, bencana alam dan kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Persoalan Bangsa
Jika dikaji lebih mendalam, cukup banyak persoalan bangsa yang luput dari perhatian pers akhir-akhir ini. Pers sepertinya alpa dalam pencegahan-pencegahan persoalan bangsa tersebut, sehingga perisitiwanya terus berulang dan justru semakin parah.
Salah satu persoalan bangsa yang belum bisa tertuntaskan di tengah booming (ledakan) pers nasional tersebut, yakni konflik sosial yang tak jarang berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Salah satu persoalan bangsa yang belum bisa tertuntaskan di tengah booming (ledakan) pers nasional tersebut, yakni konflik sosial yang tak jarang berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Konflik sosial yang belakangan yang menimbulkan keprihatinan tersebut, yaitu konflik sosial terkait penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law (Ketenagakerjaan), konflik penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian konflik Kelompok Kriminal Brsenjata (KKB) di Papua yang masih terus berlanjut dan telah memakan korban ratusan jiwa. Selain itu masih ada konflik naturalisasi sungai Ciliwung, Jawa Barat, konflik buruh PT PT Alpen Food Indonesia (“Aice”), konflik petani dengan perusahaan pertambangan di Rembang, Jawa Tengah maupun konflik sosial petani dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Mesuji, Sumatera Selatan.
Kemudian konflik Kelompok Kriminal Brsenjata (KKB) di Papua yang masih terus berlanjut dan telah memakan korban ratusan jiwa. Selain itu masih ada konflik naturalisasi sungai Ciliwung, Jawa Barat, konflik buruh PT PT Alpen Food Indonesia (“Aice”), konflik petani dengan perusahaan pertambangan di Rembang, Jawa Tengah maupun konflik sosial petani dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Mesuji, Sumatera Selatan.
Kemudian konflik bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), yakni konflik organisasi islam Front Pembela Islam (FPI) dengan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Jawa Barat, FPI dan jajaran kepolisian, konflik antarawarga setempat dengan pendatang dari Bali di Provinsi Lampung, konflik antara pendatang dengan suku Dayak di Sampit, Pontianak, Kalimantan Barat dan berbagai konflik sosdial di berbagai daerah di Tanah Air.
Tentunya konflik tersebut tidak meletup begitu saja. Sebagian besar konflik tersebut berakar dari keresahan dan ketegangan sosial, ketimpangan sosial, ketidak-puasan sosial, perasaan frustasi masyarakat terhadap kondisi kehidupan yang semakin sulit akibat ketidak-adilan. Selain itu muncul juga kegelisahan masyarakat akibat persoalan yang tak kunjung usai di tengah pandemi.
Tentunya konflik tersebut tidak meletup begitu saja. Sebagian besar konflik tersebut berakar dari keresahan dan ketegangan sosial, ketimpangan sosial, ketidak-puasan sosial, perasaan frustasi masyarakat terhadap kondisi kehidupan yang semakin sulit akibat ketidak-adilan. Selain itu muncul juga kegelisahan masyarakat akibat persoalan yang tak kunjung usai di tengah pandemi.
Di antaranya persoalan kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat dan tidak ada solusi permanen dari pemerintah. Kemudian kesewang-wenangan pengusaha me-PHK karyawan dengan alasan bangkrut akibat pandemi.
Pemicu-pemicu kegelisahan dan keresahan kelompok sosial dan masyarakat tersebut sering tak terendus pers. Kondisi demikian membuat pencegahan konflik sosial tidak bisa dilakukan pemerintah dengan cepat. Pers baru bereaksi ketika konflik-konflik sosial tersebut sudah pecah menjadi tindakan anarkis.
Kondisi kemiskinan penduduk juga kerap luput dari perhatian pers di Tanah Air padahal kondisi kemiskinan tersebut sudah cukup parah. Data-data kemiskinan penduduk kerap tercecer dari pemberitaan pers, sehingga penanganan kemiskinan tersebut terlambat dilakukan pemerintah.
Lihat saja kondisi kemiskinan selama pandemi tahun 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian nasional menyebabkan sekitar 12,15 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal nyaris jatuh miskin. Tingginya angka pertumbuhan kemiskinan yang tidak disertai penanganan yang cepat, serius dan komprehensif membuat persoalan kemiskinan di negara ini sepertinya tak ada jalan keluar.
Lihat saja kondisi kemiskinan selama pandemi tahun 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian nasional menyebabkan sekitar 12,15 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal nyaris jatuh miskin. Tingginya angka pertumbuhan kemiskinan yang tidak disertai penanganan yang cepat, serius dan komprehensif membuat persoalan kemiskinan di negara ini sepertinya tak ada jalan keluar.
Kondisi yang sama juga terjadi di dunia pendidikan nasional. Keterpurukan pendidikan nasional terkesan luput juga dari pantauan pers selama pandemi, sehingga banyak anak-anak putus sekolah tidak terungkap ke permukaan. Menurut kajian Blog.BangImamBerbagi, jumlah anak putus sekolah di Indonesia di jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SM)/sederajat selama pandemi 2020 mencapai 159.075 orang. Angka putus sekolah tersebut mencapai 0,34% dari total 45.684.771 siswa di jenjang SD dan SMP/sedarajat di Indonesia saat ini.
Persoalan bidang kesehatan di Indonesia selama pandemi juga terkesan kurang terendus pers, sehingga banyak penduduk dari ekonomi lemah tidak mampu lagi menjangkau jaminan pelayanan kesehatan. Berdasarkan data Badan Penyelnggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan seperti dilansir Bisnis.Com, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia selam pandemi berkurang dari 224,1 juta orang (2019) menjadi 222,46 juta orang atau turun 1,64 juta orang.
Pers di Indonesia juga masih kerap alpa di tengah tingginya laju kerusakan hutan dan lingkungan. Hal tersebut terindikasi dari tidak maksimalnya pemberitaan media mengenai perusakan hutan dan lingkungan belakangan ini. Padahal parahnya kerusakan lingkungan, khususnya hutan di berbagai daerah di Indonesia menyebabkan meningkatnya bencana hidrometeorologi, khsusunya bencana dan longsor.
Persoalan bidang kesehatan di Indonesia selama pandemi juga terkesan kurang terendus pers, sehingga banyak penduduk dari ekonomi lemah tidak mampu lagi menjangkau jaminan pelayanan kesehatan. Berdasarkan data Badan Penyelnggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan seperti dilansir Bisnis.Com, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia selam pandemi berkurang dari 224,1 juta orang (2019) menjadi 222,46 juta orang atau turun 1,64 juta orang.
Pers di Indonesia juga masih kerap alpa di tengah tingginya laju kerusakan hutan dan lingkungan. Hal tersebut terindikasi dari tidak maksimalnya pemberitaan media mengenai perusakan hutan dan lingkungan belakangan ini. Padahal parahnya kerusakan lingkungan, khususnya hutan di berbagai daerah di Indonesia menyebabkan meningkatnya bencana hidrometeorologi, khsusunya bencana dan longsor.
Berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia (FWI), kerusakan hutan di Indonesia tahun 2019 mencapai 1,47 juta hektare/tahun. Sedangkan total kerusakan hutan di Indoensia tahun 2020 mencapai 23 juta hektare. Kerusakan hutan tersebut berbanding lurus dengan letupan bencana alam banjir dan tanah longsor yang melanda Indonesia selama ini.
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), jumlah bencana banjir, longsor dan angin putting beliung di Indonesia selama Januari - Februari 2021 saja mencapai 355 kasus. Bencana banjir sekitar 217 kasus, tanah longsor (58 kasus) dan angin puting beliung (63 kasus).
Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), jumlah bencana banjir, longsor dan angin putting beliung di Indonesia selama Januari - Februari 2021 saja mencapai 355 kasus. Bencana banjir sekitar 217 kasus, tanah longsor (58 kasus) dan angin puting beliung (63 kasus).
Setelah bencana alam tersebut merebak, barulah pers seperti heboh dengan pemberitaan yang jor-joran tentang bencana alam tersebut. Sedangkan ketika pemicu bencana alam seperti perusakan hutan, pertambangan dan alih fungsi daerah resapan air menjadi area pembangunan berlangsung selama ini, insan pers terkesan kurang intensif mengungkapnya.
Kasus korupsi juga sering kurang terendus pers ketika para oknum pejabat dan pengusaha mulai merancang praktik korupsi mereka di rumah rakyat dan kantor pemerintahan. Kondisi tersebut membuat kasus korupsi terus meningkat dan baru terungkap setelah kondisinya parah.
Parahnya korupsi di Indonesia tentunya nampak jelas dari kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) selama ini. Sementara berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) seperti dilansir CNN Indonesia, merajalelanya praktik korupsi di Indonesia semester I tahun 2020 menimbulkan kerugian negara hingga Rp 39,2 triliun.
Sikap Reaktif
Di tengah mencuatnya deretan persoalan bangsa tersebut, kalangan pers Indonesia selama ini masih terkesan bersikap reaktif. Artinya, pemberitaan pers baru membahana ke senatero negeri setelah berbagai konflik, bencana, korupsi, kerusakan lingkungan dan persoalan lainnya mencuat kepermukaan. Sedangkan ketika proses konflik, kerusakan lingkungan, korupsi dan persoalan bangsa lainnya tumbuh seperti api dalam sekam, pers kurang jeli dan kurang cepat mendeteksinya.
Sejatinya, kalangan pers (pengusaha media) dan jurnalis tidak bisa menutup mata terhadap berbagai persoalan bangsa tersebut di kala kasusnya belum meletup menjadi konflik. Pemberitaan pers ketika pesoalan bangsa masih mengendap atau bersifat benih-benih konflik perlu ditingkatkan agar pencegahan bisa dilakukan.
Tugas dan tanggung jawab pers bukan sekadar memberitakan penanganan kasus-kasus bangsa tersebut yang terungkap ke permuaaan atau setelah pecah menjadi konflik. Pers juga semestinya hadir pada upaya-upaya pencegahan agar potensi-potensi konflik maupun berbagai praktik kejahatan ekonomi yang bersifat sistematis di tengah kehidupan masyarakat tidak sampai meluas dan parah.
Sejatinya, kalangan pers (pengusaha media) dan jurnalis tidak bisa menutup mata terhadap berbagai persoalan bangsa tersebut di kala kasusnya belum meletup menjadi konflik. Pemberitaan pers ketika pesoalan bangsa masih mengendap atau bersifat benih-benih konflik perlu ditingkatkan agar pencegahan bisa dilakukan.
Tugas dan tanggung jawab pers bukan sekadar memberitakan penanganan kasus-kasus bangsa tersebut yang terungkap ke permuaaan atau setelah pecah menjadi konflik. Pers juga semestinya hadir pada upaya-upaya pencegahan agar potensi-potensi konflik maupun berbagai praktik kejahatan ekonomi yang bersifat sistematis di tengah kehidupan masyarakat tidak sampai meluas dan parah.
Wartawan Pejuang
Kemudian pers juga harus hadir memberikan buah-buah pikiran agar pemerintah, pengusaha, politisi dan masyarakat bisa secara bersama-sama memperbaiki kondisi kehidupan bangsa demi tercapainya kesejahteraan bersama, kedamaian dan kedailan. Hal itu bisa diwujudkan melalui pemberitaan-pemberitaan yang kritis dan konstruktif sebagaimana dilakukan para wartawan pejuang seperti BM Diah, Rosihan Anwar dan wartawan seangkatannya di masa perjuangan kemerdekaan.
Wartawan tiga zaman, Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) (1917 – 1996) misalnya sangat gigih turut memperjuangkan kebangkitan semangat persatuan dan nasionalisme melalui karya-karya jurnalistiknya di masa penjajahan Jepang. Kemudian beliau juga tetap memiliki semangat patriotisme di tengah masa kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Wartawan tiga zaman, Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) (1917 – 1996) misalnya sangat gigih turut memperjuangkan kebangkitan semangat persatuan dan nasionalisme melalui karya-karya jurnalistiknya di masa penjajahan Jepang. Kemudian beliau juga tetap memiliki semangat patriotisme di tengah masa kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia demi tercapainya kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Semangat juang yang sama juga ditunjukkan wartawan tiga zaman lainnya, Rosihan Anwar (1922 - 2011). Melalui karya-karya jurnalistiknya di masa penajajahan Jepang, Rosihan Anwar turut membangun persatuan dan kesatuan bangsa semi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga memajukan pembangunan bangsa di era kemerdekaan.
BM Diah dan Rosihan Anawar, dua dari sekian banyak legenda pers Indonesia benar-benar mengemban misi jurnalis sejati dalam membangun kesejahteraan masyarakat kendati mereka menghadapi berbagai pergumulan atau tantangan ekonomi dan politik. Apakah semangat wartawan pejuang tersebut masih diwarisi wartawan masa kini?
Bila kita tilik secara seksama melalui sepak terjang wartawan di lapangan maupun karya-karya wartawan yang muncul ke lembaran pemberitaan belakangan ini, arah dan tujuan pers yang ditancapkan BM Diah dan Rosihan Anwar mulai pudar. Semangat patriotisme insan-insan pers Indonesia di era millennium yang cenderung didominasi kepentingan ekonomi ini sudah semakin tererosi.
Bila kita tilik secara seksama melalui sepak terjang wartawan di lapangan maupun karya-karya wartawan yang muncul ke lembaran pemberitaan belakangan ini, arah dan tujuan pers yang ditancapkan BM Diah dan Rosihan Anwar mulai pudar. Semangat patriotisme insan-insan pers Indonesia di era millennium yang cenderung didominasi kepentingan ekonomi ini sudah semakin tererosi.
Kalangan pers masa kini semakin banyak yang lebih berorientasi pada kepentingan pengusaha dan penguasa yang hanya mementingkan kepentingan sendiri dalam menjalankan tugasnya. Perjuangan media massa dan jurnalis semakin menjurus kepada kepentingan ekonomi semata ketimbang perjuangan membangkitkan bangsa dari keterpurukan.
Indikasi itu tercermin dari kiblat pers yang lebih banyak berpihak pada kepentingan para kepala/pejabat pemerintah, pengusaha dan politisi yang bisa memberikan nafkah kepada pers. Kondisi itu tak terhindari karena memang media perlu hidup langgeng di tengah persaingan penerbitan media yang sangat ketat.
Kecenderungan pers berkiblat pada kepentingan ekonomi, penguasa dan pengusaha tersebut tentunya tidak bisa disalahkan karena tanpa sokongan atau amunisi material, media tidak akan bisa eksis dan wartawan tidak akan bisa hidup sejahtera.
Namun jika ditilik kepada jiwa pers yang sesungguhnya, orientasi materialisme pers tersebut sudah melenceng dari tujuan pers atau jurnalisme sesungguhnya. Sejatinya, apapun risikonya, pers harus tetap memiliki tekad dan perjuangan memperbaiki penataan kehidupan berbangsa dan bernegara demi kesejahteraan masyarakatnya. Pers harus menjadi garda terdepan membuka kesempatan bagi segenap lapisan masyarakat, termasuk insan pers itu sendiri untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan.
Hal itu bisa dilakukan melalui pemberitaan-pemberitaan terkait program-program pembangunan yang prorakyat, bukan pembangunan propejabat, pengusaha dan politisi. Melalui pemberitaan seperti itu, pers benar-enar melaksanakan fungsinya sebagai social control (pengawas sosial) dan pemberi solusi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Pengabaian fungsi tersebut tentunya akan terus berakibat fatal. Jika pers masih terjerat kepentingan penguasa, pengusaha dan partisan politik, para penguasa, pengusaha dan politisi berpotensi bersikap semena-mena menggeber program-program mereka untuk kepentingan mereka semata.
Indikasi itu tercermin dari kiblat pers yang lebih banyak berpihak pada kepentingan para kepala/pejabat pemerintah, pengusaha dan politisi yang bisa memberikan nafkah kepada pers. Kondisi itu tak terhindari karena memang media perlu hidup langgeng di tengah persaingan penerbitan media yang sangat ketat.
Kecenderungan pers berkiblat pada kepentingan ekonomi, penguasa dan pengusaha tersebut tentunya tidak bisa disalahkan karena tanpa sokongan atau amunisi material, media tidak akan bisa eksis dan wartawan tidak akan bisa hidup sejahtera.
Namun jika ditilik kepada jiwa pers yang sesungguhnya, orientasi materialisme pers tersebut sudah melenceng dari tujuan pers atau jurnalisme sesungguhnya. Sejatinya, apapun risikonya, pers harus tetap memiliki tekad dan perjuangan memperbaiki penataan kehidupan berbangsa dan bernegara demi kesejahteraan masyarakatnya. Pers harus menjadi garda terdepan membuka kesempatan bagi segenap lapisan masyarakat, termasuk insan pers itu sendiri untuk dapat menikmati hasil-hasil pembangunan.
Hal itu bisa dilakukan melalui pemberitaan-pemberitaan terkait program-program pembangunan yang prorakyat, bukan pembangunan propejabat, pengusaha dan politisi. Melalui pemberitaan seperti itu, pers benar-enar melaksanakan fungsinya sebagai social control (pengawas sosial) dan pemberi solusi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Pengabaian fungsi tersebut tentunya akan terus berakibat fatal. Jika pers masih terjerat kepentingan penguasa, pengusaha dan partisan politik, para penguasa, pengusaha dan politisi berpotensi bersikap semena-mena menggeber program-program mereka untuk kepentingan mereka semata.
Kealpaan pers memberikan kajian kritis terhadap program-program pembangunan membuka peluang bagi penguasa, politisi dan pengusaha menyantap semua kue pembangunan tanpa menyisakan sedikit pun untuk masyarakat.
Tujuan Mulia
Di tengah kondisi kehidupan masyarakat yang memprihatinkan akibat pandemi Covid-19, pers mestinya kembali ke tujuan mulia, yaitu berjuang menyelamatkan rakyat dari kesulitan hidup dan ketidak-berdayaan akibat kebijakan-kebijakan pembangunan yang kurang prorakyat. Pers harus benar-benar mengawasi sepak terjang aparatur pemerintah dan perwalkilan rakyat dalam penyusunan dan pemanfaatan anggaran – anggaran pembangunan agar tidak terus menerus dikorupsi.
Kemudian pers juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan swasta agar tidak semakin merajalela mengeksploitasi kekayaan bumi persada untuk kepentingan mereka saja. Pers juga perlu lebih jeli membendung arogansi politisi agar tidak terus-menerus membenturkan masyarakat demi eksistensi partai maupun kelanggengan kekuasaan mereka.
Secara lebih humanis lagi, pers harus melaksanakan fungsinya seperti yang diwariskan secara turun-temurun, yakni membela kepentingan masyarakat luas dengan mengedepankan jiwa kristis konstruktif, kepedulian sosial, prinsip keadilan, kerukunan dan kedamaian.
Seperti disebutkan Kustadi Suhandang dalam bukunya Pengantar Jurnalistik, pers (jurnalisme) mempunyai sauatu tujuan sosial seperti dilakoni pers di Amerika Serikat, yakni menjaga dan melindungi kebebasan masyarakatnya, membetulkan apa yang salah di tengah kehidupan bangsanya dan meperjuangkan keadilan dan memerangi kejahatan.
Selain itu media massa juga dinyatakan berfungsi pencegah konflik sosial, mengawasi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, memberikan harapan dan solusi bagi berbagai permaslahan yang dihadapi masyarakat.
Sejurus dengan itu, Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Bab II Pasal 3 Ayat 1 juga mengamantkan, pers nasional berfungsi menjadi media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Kemudian pada Pasal 6 butir (d) dan (e) UU Pers tersebut juga menyebutkan bahwa pers berperan penting melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang beksaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Seperti disebutkan Kustadi Suhandang dalam bukunya Pengantar Jurnalistik, pers (jurnalisme) mempunyai sauatu tujuan sosial seperti dilakoni pers di Amerika Serikat, yakni menjaga dan melindungi kebebasan masyarakatnya, membetulkan apa yang salah di tengah kehidupan bangsanya dan meperjuangkan keadilan dan memerangi kejahatan.
Selain itu media massa juga dinyatakan berfungsi pencegah konflik sosial, mengawasi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, memberikan harapan dan solusi bagi berbagai permaslahan yang dihadapi masyarakat.
Sejurus dengan itu, Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Bab II Pasal 3 Ayat 1 juga mengamantkan, pers nasional berfungsi menjadi media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Kemudian pada Pasal 6 butir (d) dan (e) UU Pers tersebut juga menyebutkan bahwa pers berperan penting melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang beksaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Nah, inilah yang semestinya direnungkan kembali oleh kalangan insan pers di menyeruaknya segudang persoalan bangsa yang sulit ditemukan solusinya. Pers di era millennium ini hendaknya mamapu memberikan solusi tehadap berbagai persoalan bangsa. Kealpaan insan pers memperjuangkan harapan masyarakat dalam pembangunan tersebut akan menjadi dosa baru pers yang sulit dihapuskan dari hati masyarakat.
Tentunya hal ini tidak kita harapkan sebagai insan - insan pers yang berhati mulia dan berjiwa kesatria. Untuk menggapai impian itu, spirit patriotiosme dan jiwa humanisme pers harus terus disemaikan di hati wartawan-wartawan masa kini. Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2021. (Berbagai Sumber)
*) Penulis alumni Sekolah Tinggi Kesejateraan Sosial (STKS) Bandung, Jawa Barat dan mantan wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta.
Tentunya hal ini tidak kita harapkan sebagai insan - insan pers yang berhati mulia dan berjiwa kesatria. Untuk menggapai impian itu, spirit patriotiosme dan jiwa humanisme pers harus terus disemaikan di hati wartawan-wartawan masa kini. Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2021. (Berbagai Sumber)
*) Penulis alumni Sekolah Tinggi Kesejateraan Sosial (STKS) Bandung, Jawa Barat dan mantan wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta.
Posting Komentar